
Jika sebelumnya kamu sempat mendengar cerita tentang orang-orang yang berhasil berlibur keliling dunia dan hidup mewah, maka cerita tentang Budi Soehardi akan terdengar sedikit berbeda.
Budi adalah seorang mantan pilot Garuda Indonesia, Korean Airlines, Singapore airlines, juga Scoot Airlines berumur 53 tahun yang tinggal bersama sang istri, Peggy, serta tiga orang anaknya di Singapura. Pada suatu hari di tahun 1999, ia dan istrinya sedang menyantap makan malam bersama, dan secara tak sengaja menyaksikan sebuah acara TV tentang kerusuhan yang terjadi di Timor Timur. Pada kejadian tersebut, banyak sekali orang yang menderita. Beberapa dari mereka tinggal di dalam kardus, anak-anak mengenakan pakaian dari kain bekas, serta hidup tanpa sistem sanitasi.
Tak tega melihat penderitaan warga Timor Timur, Budi dan Peggy langsung membatalkan rencana liburan keluarga yang telah mereka rancang, dan memutuskan untuk pergi ke lokasi kerusuhan untuk membantu para korban. “Aku dan istriku saling bertatapan dan kami berpikir… ‘Hei, mari kita melakukan sesuatu yang berbeda. Mari kita datangi tempat itu … dan menjadikannya sebagai liburan yang berbeda dari sebelum-sebelumnya’,”
“Tuhan ingin kami melihatnya (acara TV mengenai kerusuhan). Aku dan istriku pun terinspirasi untuk melakukan perjalanan tersebut.” Setelah mengumpulkan berbagai bantuan dari orang di sekitarnya, Budi dan Peggy berangkat Timor Timur sambil membawa bekal 40 ton makanan, obat-obatan, dan keperluan kesehatan lainnya. Setelah beberapa saat memberikan bantuan di sebuah posko, Budi sadar bahwa bantuan yang ia berikan hanyalah bersifat sementara. Ia pun memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah di NTT dan menjadikannya sebagai tempat tinggal bagi para korban.
Rumah sewaan tersebut kemudian dihuni oleh empat anak yang kondisinya cukup mengkhawatirkan seperti malnutrisi dan terluka parah. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak pihak yang membutuhkan bantuan Budi dan Peggy. Mereka akhirnya memutuskan untuk membangun sendiri bangunan untuk para pengungsi.
“Pada awalnya, istriku memintaku untuk membangun tiga buah kamar. Dua jam kemudian, ia memintaku untuk membangun lima kamar, sembilan kamar, dan akhirnya sebuah panti asuhan.” Peggy memberi panti asuhan tersebut “Panti Asuhan Roslin” yang kemudian diresmikan oleh Pemerintah provinsi NTT pada 6 Maret 2006. Hingga kini, mereka telah menampung 47 anak yang diperlakukan penuh kasih oleh Budi dan Peggy bak anak kandung mereka sendiri.
Selain mengandalkan bantuan dari berbagai pihak seperti Fellowship of Christian Airlines Personnel, dan masyarakat lainnya, Panti Asuhan Roslin juga menanam padi di halaman bangunan mereka guna memenuhi kebutuhan hidup. Budi dan Peggy yang sama sekali tak memiliki pengalaman dan pengetahuan dalam bidang bercocok tanam nekat mengairi lahan tandus yang mereka miliki dengan dua buah pompa dan satu generator listrik. Hebatnya, keputusan nekat yang cukup memakan biaya tersebut membuahkan panen padi yang baik hingga hari ini.
Budi Soehardi CNN Tribute to Heroes 2009 yang ditaut dari FriendsofRoslin
Tanggung jawab yang Budi emban sebagai pemilik panti asuhan membuatnya memutuskan untuk pensiun sebagai pilot pada Juni 2015 lalu. Dengan segala kerja keras dan kemampuan yang ia kerahkan bagi Panti Asuhan Roslin, Budi pun terpilih sebagai salah satu dari Top 10 CNN Hero 2009. Ketika ditanya tentang siapa sosok yang Budi anggap sebagai pahlawan, ia menjawab, “Tuhan selalu menjadi pahlawan bagi kita karena ia selalu memberikan segala kebutuhan kita. Di panti asuhan, istriku adalah pahlawanku karena ia selalu mengerahkan seluruh kemampuannya demi memenuhi kebutuhan di sana.”
Dari liburan yang tak biasa, Budi dan Peggy akhirnya menemukan jalan hidup mereka untuk membantu sesama. Semoga semangat dan perjuangan mereka dapat menginspirasi kita semua, ya!