
Bangkok sudah pasti menjadi salah satu negara yang kerap dikunjungi oleh kita, warga Indonesia, sebagai tempat liburan, hiburan, budaya dan belanja. Tidak jauh dari pertengahan taun ini, saya dapat kesempatan untuk berkelana ke berbagai tempat di Bangkok. Kali ini saya akan bahas dua tempat yaitu “Backpackers Ghetto” atau Khao San Road dan wilayah satu lagi, Rambuttri Alley.
Kunjungan pertama ke Grand Palace, setelah itu saya menuju ke Foto-File, toko kamera di daerah Siam, untuk memperbaiki lensa saya, kebetulan pada saat itu salah satu skrup adapter-nya copot. Setelah diperbaiki saya meneruskan perjalanan melewati jalan besar di daerah Siam dengan naik Tuk-Tuk, kendaraan tradisional Bangkok, untuk sampai ke lokasi. Total biaya dari Siam ke Khao San Road setelah negosiasi? 60 Batt saja. [1 Batt = 400 Rupiah]
Khao San Road adalah jalan pendek dengan jarak 4 kilometer, apabila saya amati suasananya mirip dengan wilayah Melawai Blok M di Jakarta saat mengadakan festival. Khao San Road dipenuhi dengan tempat untuk belanja murah, stand makan, restoran, buat visa instan, penginapan murah seperti hostel dan homestay, cinderamata, tattoo parlor, dan tempat pijat refleksi.
Tidak lama kemudian saya sampai di tujuan dan menikmati beberapa lukisan mural. Saya ingat waktu itu sekisaran jam 5 sore kurang, pengunjung dan turis pun sudah ramai membanjiri Khao San Road. Disana saya menjumpai beberapa stand makanan seperti Drunken Pad Thai (Mie Goreng Ala Thailand), eskrim kelapa, Exotic Food seperti sate kalajengking, dan lain-lain. Dan akhirnya saya tertarik untuk mecoba eskrim kelapa sambil menikmati senja di Khao San Road. Rasanya seperti es baltik dan ada khas Thai-nya. Apabila kamu pernah minum Thai Ice Tea, tentunya akan paham ketika mencoba eskrim kelapa ini. Susunya emang beda. Kelapanya?halus dan enak. Seingat saya harganya 30 batt.
Kemudian Saya bertemu dan berkenalan dengan Wii yaitu seorang seniman yang membuat asbak handmade selama 15 tahun di Khao San Road. Beliau membuat asbak hanya bersama ibunya untuk menjalani hidup kendati bapaknya sudah tiada. Harga satuannya 65 batt dan jika membeli dua maka dapat potongan harga menjadi 100 batt. Wii dengan senang hati difoto tanpa ragu-ragu. Dan sekarang kedua asbak-nya saya gunakan untuk tempat menyimpan card reader dan memory card kamera saya.
Setelah bertanya kepada beberapa penduduk lokal tentang makanan khas Thailand di Khao San Road, mereka mengarahkan saya ke Rambuttri Alley, wilayah dekat Khao San Road. Berdasarkan info dari mereka, tempat makanan khas Thailand yang enak ternyata ada disana semua, bukan di Khao San Road, yang dimana kebanyakan makanan ala Western food. Saya pun keluar di ujung jalan satu lagi dan jalan terus hingga akhirnya sampai ke tujuan. Apabila kamu menggunakan Googlemap, Rambuttri Alley ada di utara Khao San Road.
Rambuttri Alley atau Rambuttri mengingkatkan saya akan Bali, terutama daerah Legian dan Seminyak. Bedanya, Rambuttri Alley tidak dilewati kendaraan umum sehingga pengunjung dan turis bebas berjalan kaki menelusuri Rambuttri Alley. Kiri dan Kanan penuh dengan restoran dan tempat jualan cinderamata. Terbalik dengan Khao San Road, di Rambuttri lebih banyak restoran dibandingkan tempat belanja. Saya berjumpa dengan seniman yang sedang sketsa turis. Dan tidak disangka, beliau adalah backpacker dari Jepang. Dia menggambar untuk menambah ongkos dan sekalian mengasah keahlian.
Ada satu cafe yang sangat disayangkan tidak bisa saya foto, bahkan dari luar. Moka Art Gallery, yaitu dimana yang sehari sebelumnya saya kunjungi pamerannya, Moka, di BAACC lantai 3. Dan setelah saya telusuri lebih jauh pas di belokan saya melihat booth yang menjual cincin handmade. Semua terbuat dari tembaga dan ada beberapa yang baja. Semua cincin ini dibuat oleh Mee, sayang sekali beliau tidak ada ditempat dan sedang buka booth yang sama ditempat lain. Saya berjumpa dengan kakaknya yang memperbolehkan saya untuk foto-foto.
Setelah itu saya menjumpai stand yang paling unik sepanjang perjalanan, Pie ala Thailand, masih di kawasan Rambuttri. Kamu kalau lihat gambar, sangat jelas terlihat seperti martabak telor. Namun isinya bukan daging bumbuk, melainkan coklat dan pisang yang disirami sirup coklat diatasnya.
Kaki sudah serasa capek sekali dan perutku lapar(padahal baru makan cemilan Pie Thailand). Saya memutuskan untuk random pick dan pilihan jatuh ke Lotash. Lotash yang menyediakan makanan khas Thailand ini ternyata enak sekali dan porsinya sangat besar, kayak porsi bungkus makanan Padang. Saya memesan Cashew Chicken with Rice atau Ayam Kacang Mede dengan Nasi. Memesannya agak sulit karena hambatan bahasa maka saya perlu menunjuk gambar supaya bisa mendapatkan order yang saya mau. Harga? 60 Batt sudah sama minum Thai Ice tea. Perut? Sangat kenyang pastinya.
Setelah melihat beberapa tempat menarik tanpa sadar saya pun kesasar hingga mengunjungi museum Coin Museum Treasury Department Thailand. Sangat disayangkan tempatnya sudah tutup. Setelah bertanya kepada penduduk lokal untuk kembali ke Khao San Road, saya mencari jalan sesuai petunjuk. Dan ternyata sewaktu tiba disana, sedang ada atraksi menarik, yaitu kerumpulan breakers sedang berjoget ria sebagai atraksi untuk para turis.
Dengan breakdance, mereka menunjukan keahlian masing-masing. Ada satu anak kecil yang menarik perhatian dan berdansa agak menyeramkan namun mengagumkan. Mereka menyebut dirinya “the 58 Crew” berdansa dimalam hari untuk mencari ongkos tambahan. Semua anggotanya ternyata para pekerja di Khao San Road.
Tidak jauh dari situ saya kembali ke tempat refleksi yang sangat penuh oleh turis. Mereka nampaknya mengalami hal yang sama seperti saya, kaki pegel kayak mau copot. Saya pun memutuskan untuk join the frey. Dan tidak lama setelah itu saya pulang ke penginapan di Siam.
Khao San Road tentu menjadi tempat murah meriah untuk belanja, makan, dan duduk manis sembari menikmati pemandangan lalu lalang para turis. Tetapi menurut saya, justru tidak cukup hanya di Khao San Road saja. Untungnya, saya menelusuri sekitar Khao San Road sehingga menemukan wilayah Rambuttri Alley. Overall travel saya ke salah satu tempat pasar malam terkenal ini sangat menyenangkan. Orang lokalnya semua ramah bahkan ada yang bisa berbahasa Indonesia.