Berjalan-jalan di Sulawesi Utara tentunya akan menelusuri tradisi Minahasa, termasuk tempat tinggal mereka yang masih memakai bentuk rumah panggung. Saya akhirnya berniat untuk pergi ke daerah desa Woloan, sekitar beberapa kilometer dari Tomohon, disebut sebagai kota Bunga Sulawesi Utara.

Cara kesana gampang-gampang susah. Dari kota Manado cukuplah bisa menggunakan bis dari terminal Karombasan ke terminal Tomohon dekat pasar Beriman Tomohon. Untuk daerahnya sendiri, Tomohon adalah lembah yang diapit oleh dua gunung aktif yaitu gunung Mahawu dan gunung Lokon. Kadang-kadan masih keluar asap dan ada sedikit gempa. Nama Tomohon berasal dari dialek lokal Tou mu’ung.

Ada beberapa cara untuk berkeliling Tomohon, bisa dengan sewa mobil (kalau rame-rame), naik mikrolet atau naik kereta yang ditarik kuda, bendi, dalam bahasa lokal. Karena kebetulan mau pergi kebeberapa tempat dan lebih ringkes jadi saya memutuskan untuk memakai ojek (sayang, belum ada gojek) setelah terjadil proses tawar menawar.

Tibalah saya disebuat jalan di desa Woloan yang dari ujung jalan ke jalan-jalan berikutnya terdapat suatu galeri rumah-rumah panggung dengan berbagai macam bentuk. Biarpun lebih ke ciri khas Minahasa yang sederhana, tapi ada juga beberapa design yang lebih moderen.

Beruntung saat saya masuk kesalah satu rumah panggung bertingkat dua, ada beberapa orang yang sedang duduk-duduk beristirahat. Ternyata mereka adalah pengrajin dari desa Woloan. Saya diperkenalkan ke bapak Stanley yang bertanggung jawab untuk arsitektur dan mandor projek rumah tersebut. Beliau sudah bekerja selama bertahun-tahun sebagai pengrajin karena sudah turun temurun dari bapak, kakek dan buyutnya bekerja sebagai pengrajin.

Bapak Stanley menjelaskan konsep rumah panggung Minahasa. Biasanya dibuat 1-2 meter diatas permukaan tanah, katanya, supaya tidak menutupi tanah dan penyerapan air lebih gampang. Ini untuk mencegah banjir, lembab dan binatang buas. Untuk daerah yang rawan gempa seperti Tomohon yang diapit gunung-gunung yang masih aktif, konstruksi yang menggunakan kayu yang elastis akan lebih awet karena rumah kayu bisa mengikuti pergeseran tanah seiring gerak bumi dan tidak retak seperti rumah beton.

Kayu yang digunakan juga khusus yaitu beberapa jenis kayu dari kayu merbau (Instia bijuga), kayu nyatoh (Palaquium spp.) dan kayu cempaka (Michelia champaca L.). Namun karena kelangkaan jenis-jenis kayu tersebut, terpaksalah kebanyakan pengrajin menggunakan jenis-jenis kayu lain. Berdasarkan penelitian, dipilihlah jenis kayu besi yang memiliki kekuatan yang kokoh dan elastisitas yang bagus misalnya kayu aliwowos (Homalium foetidum Benth), rorum (Heritiera littoralisDryand), bugis (Koordersiodendron pinnatum Merr.), binuan (Octomeles sumatranaMiq.), bolangintang (Litsea sp.) and kenari (Canarium sp.) dari daerah Bolaan Mongondow atau Gorontalo.

Kayu aliwowos merupakan kayu terberat dan biasanya dipakai untuk tiang-tiang rumah utama yang disebut Wale Meito’tol. Kayu rorum dan bugis untuk kerangka rumah dan fondasi lantai. Jenis-jenis kayu yang lebih ringan menjadi lapisan-lapisan lantai, dinding dan langit-langit.

Teknik pembuatan rumah panggung Minahasa tidak menggunakan paku karena sifatnya bisa dibongkar pasang (knockdown). Makanya sangat digemari karena rumah jadi ini bisa dipindah-pindah. Tiang utama disebut ari’i. Konstruksi balok kayu yang saling menumpuk diatas balok panjang tumpangannya disebut kalawit. Kalau bersilang berbentuk ‘X’ disebut sumpeleng. Dulu atap terbuat dari jerami tapi sekarang bisa pakai atap seng atau asbes walaupun masih ada pemesan memakai atap jarami karena lebih hangat kalau udaranya dingin dan tidak terlalu panas kalau udaranya panas.

Kebanyakan penduduk tinggal dilantai dua karena lantai dasar digunakan menjadi garasi, tempat penyimpanan atau dulunya sebagai kandang binatang peliharaan. Sekarang sih beberapa lantai dasar rumah kadang-kadang sudah pakai beton, jadi tidak bisa dipindah atau dibongkar pasang lagi.

Waktu pengerjaan bisa memakan waktu 3-4 minggu untuk rumah kecil, tapi pernah juga bapak Stanley mengerjakan rumah kos dengan luas 7.5 x 30 meter untuk 20 kamar yang memakan waktu kira-kira 4 bulan.

Harga per-rumah dari pak Stanley biasanya berkisar antara Rp. 15 jt s/d 300 jt (dan lebih) tergantung permintaan, design dan waktu pengerjaan. Tentu saja belum termasuk biaya bongkar, pengepakan, dan pengiriman. Bila pembelinya masih di daerah Sulawesi, pengiriman menggunakan truk tapi kalau ke luar Sulawesi harus pakai kontainer dan dikirim memakai kapal laut. Tenang saja, ujarnya, timnya akan siap di tujuan untuk pemasangan kembali.

Sejauh ini pak Stanley sudah menjual rumah Woloan sampai Jawa dan Bali. Untuk perusahaan-perusahaan yang lebih besar, bahkan sudah di ekspor sampai Eropa, Jepang, negara-negara di Asia Tenggara dan sebagainya. Memang industri rumah Woloan ini cukup memiliki nilai tinggi untuk kualitas ekspor.

Bonus foto:

 


101monkeymagic

Sesosok monyet yang menyukai coklat, kopi dan terkadang teh. Menyukai apa saja yang berbentuk fantasi dan sembari lalu berkelana.

Artikel-artikel terkait