
Hubungan antara alam dan manusia adalah topik yang tak akan habis untuk dibahas, dan telah menginspirasi banyak orang dalam dalam berkarya. Salah seorang di antaranya adalah Ikeda Minobu; seniman berasal dari Jepang yang sedang menjalani masa residensinya di Chazen Museum of Art, Madison, Wisconsin, Amerika Utara.
Lukisan Ikeda yang selalu memiliki tingkat kedetilan amat tinggi dibuat dengan media kanvas, kertas, tinta, juga akrilik. Karyanya pun seringkali dikaitkan dengan hal-hal mistis seperti ramalan. Contohnya pada lukisan kecil buatannya yang diberi nama Gate (2010), di mana pada karya tersebut ia menggambarkan sebuah gerbang yang tanpa diduga mirip dengan monumen New York’s Ground Zero, sebuah situs yang diabadikan setelah kejadian 9/11. “Aku sendiri merasa sangat kaget saat beberapa waktu lalu mengunjungi Ground Zero, karena bentuk gerbang, komposisi, keberadaan pesawat, dan hal lainnya di Ground Zero sangat mirip dengan lukisan Gate, walau ini semua tak berhubungan. Segala kesamaan itu membuatku merasa ngeri.”
Keunikan lainnya terjadi saat Ikeda membuat sebuah lukisan yang berjudul “Foretoken” di tahun 2008, yang menggambarkan dunia es dalam gelungan ombak. Pada lukisan tersebut Ikeda menorehkan detil Kepulauan Jepang yang bengkok di bagian Pulau Tōhoku, serta menampilkan kapal yang tersapu oleh ombak di pesisir pantainya. Tanpa disangka, pada tahun 2011, datang musibah tsunami yang amat luar biasa di Pulau Tōhoku, dan banyak orang menganggap “Foretoken” sebagai ramalan akan tsunami tersebut.
Pasca musibah tsunami yang menggemparkan, Ikeda pun mulai membuat karya yang menampilkan upaya penduduk Jepang dalam membangun kembali tempat tinggalnya, yang diberi nama “Rebirth”. Lukisan dengan dimensi kurang lebih 3 x 5 meter ini digarap sejak Juli 2013, di ruang kelas Chazen Museum of Art, dan baru saja rampung pada Desember 2016. Karya ini menampilkan figur pohon yang menyeruak dari dalam air, dan memiliki banyak sekali detil kecil lainnya yang tak akan habis dipandangi meski dalam waktu 30 menit.
Dalam “Rebirth”, Ikeda ingin menuangkan sisi indah dari kekacauan kehidupan yang jarang berjalan lurus, dan malahan seringkali bertabrakan dan berinteraksi dalam cara-cara yang tak terduga dan sulit dipahami. Hal itupun ia rasakan dalam proses berkarya, di mana ia tak pernah menduga ke mana karya ini akan mengarah, dan bagaimana hasil akhirnya nanti.
Waktu tiga setengah tahun dan delapan jam sehari yang Ikeda habiskan dalam membuat “Rebirth” tidak selalu berjalan mulus. Contoh paling sederhananya adalah, Ikeda yang pada saat itu baru pindah ke Amerika merasa bahwa keadaan alam Amerika jauh lebih luas dan liar dibandingkan alam yang selama ini ia lihat di Jepang. Maka, dalam menciptakan konsep awal “Rebirth”, ia pun harus mengubah rekaman visual yang ia miliki tentang bentukan alam.
Di tengah-tengah proses pembuatan “Rebirth” pun, Ikeda mengalami tantangan lainnya yang cukup parah. Salah satu lengannya mengalami dislokasi saat berolahraga ski menuruni bukit, dan lengan tersebut adalah yang aktif digunakan untuk menggambar. Untungnya, berkat kegigihan Ikeda, dalam 3-4 kali latihan menggunakan lengan satunya, ia tetap mampu melanjutkan lukisan “Rebirth”.
Setelah melalui berbagai pengalaman suka maupun duka, lukisan “Rebirth” selesai dibuat, dan Ikeda tak kuat menahan haru saat melihat potongan kanvas terakhir dari karyanya dipajang. Kini, hasil akhir lukisan Rebirth dapat dinikmati oleh pengunjung Chazen Museum of Art di ruangan kelas museum tersebut.
Selain itu, Ikeda juga membuat beberapa karya lainnya yang berhubungan erat dengan bencana alam; yaitu “Victim” (2009), “Claw Marks” (2010), “Staircase of Waves” (2010), dan “Meltdown” (2013). Semua karyanya memiliki detail yang cukup gila untuk diteliti oleh mata, dan dari segala bentukan kompleks tersebut, kamu akan menemukan kesan hidup dan harmonis dalam lukisan Ikeda.
Sumber dan foto terkait : thisiscollosal.com, thecreatorsproject.vice.com, chazen.wisc.edu