
Terkadang sebuah kata bisa mewakilkan gambaran mutlak secara keseluruhan, menemani sebuah sudut pandang yang menjadi perkenalan awal untuk sesuatu hal yang cukup riskan. Dalam hal ini, dalam mempelajari kata ‘tahanan’ itu sendiri, rasanya seperti membuka buku dan mencoba menelaah halamannya satu persatu sampai berkali-kali dan itu mungkin tidak cukup. Tidak disangka, perkenalan tersebut ditelaah secara baik terutama dalam melebarkan makna itu sendiri menjadi presentasi karya oleh Proyek Seni Perupa Perempuan.
Sewaktu datang ke pameran kedua Proyek seni Perupa Perempuan 2016 bertajuk :: Panoptic “Bon Seni” yang dikurasi oleh Angga Wijaya, pembicaraan antar pengunjung dengan para seniman yang berpartisipasi; Mereka menceritakan bagaimana proses perkenalan proyek seni, yang dijadikan praktek untuk berkenalan, merefleksikan, bahkan mengintervensi fenomena sosial politik yang berlangsung di masyarakat, melalui para penghuni rumah tahanan Pondok Bambu.
Rumah Tahanan Pondok Bambu, sebagai tempat observasi permasyarakatan, menjadi lokasi dan proyek seni “Panoptic : Bon Seni”. Dengan memperkenalkan dan memberi bimbingan, para 7 seniman melakukan praktek kolaboratif bersama warga binaan. Selama proyek berlangsung dalam waktu sebulan, para seniman bekerja sama dengan dua puluh warga binaan secara dekat dan intim. Rumah Tahanan Pondok Babu, yang seluruhnya dihuni oleh wanita, melakukan seni kreatifitas bersama para seniman yang berlibat seperti fotografi, crafting, menggambar bersama, mural, dan membuat komunitas radio.
Bagi mereka seniman, hal ini tentu menjadi tantangan. Belum kesan pertama yang sudah terlihat dari gebang rumah tahanan itu tersendiri. Mengakui, setelah tinggal beberapa hari disana dalam melakukan proses pengkaryaan, justru keterbukaan berlangsung dari dua arah. Proses tidak berlangsung begitu lama dikarenakan para penghuni sudah memiliki bakat untuk mengembangkan karya dari aktifitas yang sudah ada, sehingga proses membimbing mereka tidaklah sulit. Hasil pameran tersendiri akhirnya menjadi narasi-narasi karya tiap para penghuni, dimana mereka representasi keinginan yang terpendam yang bersifat sentimentil dan personal. Berbagai macam hal telah diceritakan dan dituangkan melalui proses pengkaryaan dalam sebulan; dari keluh, kerinduan, kesedihan, hingga kebutuhan. Dan semua itu sebenarnya satu dari bagian terbesar yang mereka inginkan, yaitu ‘harapan’.
Kecewa, maksud saya kecewa karena saya tidak bisa hadir untuk bisa langsung berpartisipasi di Rumah Tahanan Pondok Bambu. Keinginantahuan tentang proses riset, pengkaryaan dan kolaborasi, itu sebagai alasan yang terkuat. Seperti proses dan hasil mural kerjasama oleh Kayu(Dila Martina Ayulia) dengan Drawmama (Marishka Soekarna), yang terletak di Rumah Tahanan Pondok Bambu. Proses Kunil(Daniella F.Praptono) dan peserta penghuni rutan dalam membahas hubungan wanita dengan pasanganya ataupun anaknya melalui lukisan dan menggambar. Atau raut muka Venti Wijayanti dan Hauritsa dalam menceritakan cerpen yang sangat jenaka melalui presentasi komunitas radio di rutan tersebut. Proses Nenan Angenani Titis dalam membuat grup teater berdasarkan puisi beberapa warga binaan. Proses Prilla Tania berkarya dengan penghuni rutan dalam berbuat karya sepatu kertas. Proses Ika Vantiani dan para penghuni rutan melakukan lokakarya dalam bentuk kolase, felt dan pom-pom. Dan bagaimana Meicy Sitorus mengajari cara untuk bercerita dan foto kepada para penghuni Rutan.
Penggalan program komunitas radio dari instalasi audio di pameran
Mungkin ini yang dimaksud dari pencaharian oleh saya sendiri tentang kata “Panopticon” yang terkait di pameran ini, bahwa kerjasama melakukan seni kreatifitas menjadi salah satu bentuk pendisiplian sosial sehingga dapat menghasilkan hal-hal yang positif. Tapi siapa sangka bahwa dibalik keterbatasan dan melalui observasi, bahwa harapan berhasil lolos dan menjadi proyeksi observasi diri oleh mereka , para penghuni Rumah Tahanan Pondok Bambu untuk masyarakat luas.