
Sore itu Bentara Budaya Jakarta dipenuhi dengan rasa gelisah. Bukan hanya gelisah karena Jakarta sedang dilanda mendung sedari pagi, atau gelisah karena saya sendirian berlama-lama di ruang galeri; Kegelisahan tersebut sesungguhnya terpancar kuat dari karya-karya buatan tujuh seniman Indonesia. Mereka adalah Agustan, Dias Prabu, Gilang Fradika, Panca Satria, Prayitno Mayek, Rahardi Hadining (Heng), serta Rahman (Omen). Kelompok yang terdiri dari tujuh orang ini membahasakan diri mereka sebagai kelompok Kulturistik dan melancarkan pameran seni rupa “Fenestram” pada tanggal 11-19 Oktober 2017 di Bentara Budaya Jakarta.
Sebenarnya apa sebab dari kegelisahan luar biasa yang menjadikan pameran ini ada? Jika menengok pada catatan kuratorial Efix Muliadi selaku wartawan dan kurator Bentara Budaya Jakarta, para seniman tersebut tengah gundah melihat keadaan masyarakat Indonesia yang kian lama kian miris karena penggunaan teknologi yang makin tak terkendali.
Jika biasanya gelisah dilukiskan dengan suasana muram yang tak sedap dipandang mata, ketujuh seniman di atas berhasil menyapukan rasa gundah mereka lewat polesan cat berbagai warna, serta karakter khas masing-masing yang sangat kuat. Tak hanya apik, hampir semua karya di pameran “Fenestram” bersifat vokal dalam menyampaikan pesannya.
Contohnya Gilang Fradika. Ia mengimplementasikan pemikirannya lewat tone warna yang cukup dingin dan gelap. Dalam karya “Somewhere We Can’t Forget”, Gilang memasukkan karakter kartun populer serta mahluk hidup berupa tumbuhan dan binatang. Walau memuat figur kehidupan, kita dapat melihat bahwa sang seniman sedang menciptakan dunia yang kelam di dalam kanvasnya.
Jika kita melihat karya Prayitno Mayek, dapat dibayangkan betapa asyiknya sang seniman saat terlarut dalam pemikiran serta imajinasinya. Dengan karakter visual yang rumit, ia sedang berusaha menggambarkan hubungan manusia dengan mesin yang akhirnya berujung tragis dalam lukisan “Self Destruction”.
Tak kalah kompleks, Rahman (Omen) menggambarkan figur-figur mirip manusia yang terdiri dari utasan tali dan bentuk geometris lainnya. Figur-figur tersebut seakan hidup dalam beban masalah sangat berat, dan kemudian mengalami semacam penebusan dan pembelaan dari sosok lain di lukisan “No More Violence”.
Bagi Agustan, rasa gelisah juga dapat digambarkan dengan benda-benda yang kita temui di kehidupan sehari-hari. Benda seperti baju, kain perca, sarung tangan, serta jepit jemuran (dalam karya “Yang di Pinggir”) dirangkai sedemikian rupa hingga terlihat hidup dan bernapas. Selain melihat kegelisahan dari sisi gelapnya, Agustan juga mengajak masyarakat untuk memulihkan kembali keadaan kacau yang ada dalam kehidupan ini dengan merefleksikan diri dalam suasana hening (dalam karya “Catharsis”).
Dengan melukis di atas bilah kayu daur ulang, Panca Satria menghadirkan kegelisahan lewat wajah-wajah manusia yang tengah hidup di bawah otoritas perkembangan teknologi. Dalam karya berjudul “Krtrim (Buatan-Artificial)”, ia menyinggung fenomena kecerdasan artifisial yang kini sedang marak ditampilkan dalam berbagai film dan cerita fiksi.
Seakan mengajak audiens untuk terbang ke dunia dongeng anak, Rahardi Hadining melukiskan tokoh menyerupai manusia yang tubuhnya terdiri dari tali rajutan. Lewat lukisan “The Dream”, ia melebur dunia nyata dan tak nyata ke dalam satu kanvas, melambangkan realitas dan fiksi yang berbaur dalam peristiwa di Indonesia.
Dias Prabu juga mengajak audiens untuk masuk ke dalam alam fantasi yang berisi tokoh-tokoh buatannya. Selain memiliki kekuatan dalam membentuk karakter yang unik, Dias juga mampu memilih palet warna yang catchy, dan di satu sisi tetap menampilkan kabut kegelisahan lewat karyanya.
Pada akhirnya, para anggota kelompok Kulturistik juga mencipta sebuah karya bermedium kayu yang berjudul “Bingkai Representasi”. Dalam karya ini, mereka merespon persoalan di mana masyarakat sering disuguhi terlalu banyak informasi, dan butuh sebuah sudut pandang yang bijaksana dalam menyaring kabar yang ada.