
Pameran berjudul “Seven Scenes” oleh Indonesia Contemporary Art and Design, atau disingkat ICAD, kini hadir kembali dalam rangka acara tahunan di Grand Kemang Hotel, Jakarta Selatan. Pameran “Seven Scenes” yang di kurator oleh Hafiz Rancajale, mengangkat tema “Membaca Ruang dan Kota Sebagai Gagasan” melalui karya seni dan desain. Tanpa waktu mengikat hari, para pengunjung bisa hadir untuk melihat dan berinteraksi dengan hasil karya kolaborasi dari tujuh bidang kreatif. Pameran “Seven Scenes” diadakan dua bulan lamanya dari tanggal 7 Oktober hingga 7 Desember 2016.
Urbanisasi menempatkan para penduduk harus menyesuaikan atau terpaksa dalam menghadapi keadaan dan bahkan terisolasi baik dalam perihal perekonomian ataupun sosial dan fenomena lainnya. Sedangkan kreasi sudah bukan hanya sekedar pandangan objek semata tetapi memiliki makna yang luas dan menjadi dedikasi ke hal lain sebagai respon akan keadaan yang ada. Perkembangan ini disuguhkan ke publik terlaksana melalui ide, kritik dan observasi para seniman dan desainer yang ikut peran di “Seven Scenes”.
Tujuh seniman dan desainer yang pakar di bidang masing-masing hadir dalam pameran utama lewat hasil karya kreasi kolaborasi dengan para seniman dan desainer muda lainnya. Ketujuh seniman dan desainer tersebut antara lain Agung Kurniawan, Budi Pradono, Eko Nugroho, Hermawan Tanzil, Oscar Lawalata, Tita Salina dan Tromarama. Selain karya-karya utama yang dipamerkan di ruang Grand Kemang Hotel, ICAD menyuguhkan beberapa merchandise dan special performances dari beberapa seniman dan desainer. Art merchandising dari keramik pot hingga bordir emblem, instalasi dan berbagai macam lainnya bisa ditemui di “Seven Scenes” untuk mendekatkan masyarakat dengan gagasan seni dan desain.
Dengan merespon tata ruang Grand Kemang Hotel, semua karya bisa ditemukan dengan berkelana dari satu bilik ke lainnya. Dari awal masuk sudah terlihat jelas karya dari Eko Nugroho berkolaborasi dengan berjudul “Menyusun Serpihan Pelangi” dalam bentuk mural yang menghiasi tembok perbatasan Hotel Grand Kemang dan Gedung Kemang Colony. Dengan ironi yang disampaikan kata have a nice sunny day menjelang musim hujan, karya beliau menyikapi resiko kehidupan urban di Ibukota, yang mengharuskan para insan bertahan dalam segala waktu, situasi, dan keadaan.
Sang desainer dan salah satu penghuni Kemang, Hermawan Tanzil, mendedikasikan dan mengambil konsep wilayah Kemang itu sendiri melalui karya instalasi mixed media, “Kemang RT/RW”. Fakta-fakta menarik dan historis melalui pemetaan grafis, dan katalog terpajang selebar tiga sampai empat meter terpapar di salah satu bagian bilik lantai dasar Grand Hotel Kemang. Terisi didalam kedua karya tersebut tentang perubahan dan modernisasi begitu juga transformasi para penghuni Kemang. Tanpa batas stratifikasi sosial, para penghuni bercerita dan tercatat lewat katalog tentang kesan, pesan dan harapan terhadap daerah Kemang.
Ditengah lantai dasar tepatnya didepan lobi, terdapat hasil ciptaan Oscar Lalawata, karya berbentuk ka’bah dengan beberapa lambang pola reliji. Warna tersebut yang selama ini dilambangkan sebagai hal yang tidak umum menjadi sebaliknya. Seperti berbagai macam hal yang sakral sudah menjadi ketentuan umum, terutama penggunaan simbol relijius di mode tren. Perubahaan ini dilambangkan dengan warna hitam yang sesuai dengan judul karyanya, “Back to Black”.
Agung Kurniawan mengungsung tema sekitar ketidak adilan Hak Asasi Manusia melalui kiasan dan perwujudan sabun. “The Soap Project” menceritakan beberapa tokoh yang kian hilang dalam memperjuangkan Hak Asasi Manusia ‘tercuci’ oleh pemerintah. Lengkap dengan informasi disetiap belakang kemasan sabun yang tersusun, riwayat sosok seperti Trubus, Marsinah, dan Widji Thukul tertulis. Untuk wujud sabun berupa potrait muka tokoh-tokoh ini dimana di setiap dahi tercatat lahir dan hilangnya mereka. Didepan karya “The Soap Project” terdapat karya Agung Kurniawan satu lagi, menampilkan fenomena Kimcil, kenakalan perempuan remaja khususnya di ibukota.
Tita Salina mempertanyakan garis cakrawala lewat instalasi interaktif “The Missing Horizon” yang kian sudah tidak terlihat di ibukota. Dengan instalasi berjudul “Kampung Vertikal” oleh Budi Pradono, menawarkan gagasan konstruksi dan peluang perubahan sistem interaksi dan sosial masyarakat sekitar.
Tromama, kelompok seni kolektif, hadir dengan beberapa karya instalasi video. Salah satu karyanya menggandeng toko furnitur antik di bilangan Kemang. Tromama mengambil jalur lintas waktu antara modernisasi dalam bentuk intervensi melalui teknologi. Instalasi Virtual Reality dengan headset bisa dinikmati buat para pengunjung yang hadir menampilkan perpindahan ruang dengan objek yang sama.
Perumpamaan dari arti, simbolisasi dan perihal lainnya dieksekusi dengan berani terutama oleh para seniman dan desainer yang memamerkan karya utama di pameran ini. Ada beberapa permasalahan kontemporer ditunjukan dengan kasat mata. Walau tidak ada pemetaan atau denah untuk peletakan antar kreasi, karya-karya di pameran “Seven Scenes” yang tersebar luas bisa ditelaah satu persatu tanpa kenal waktu, mengingat waktu kunjungan tidak dibatasi.