
Pernahkah kamu menonton film Si Manis Jembatan Ancol atau Beranak dalam Kubur? Jika pernah, tahukah kamu bahwa kedua cerita tersebut sebenarnya berasal dari Sandiwara Sunda Miss Tjitjih? Nah, jika nama tersebut masih asing buatmu, yuk kali ini sedikit berkenalan dengan Miss Tjitjih!
Sandiwara Sunda Miss Tjitjih telah menetap di Batavia sejak tahun 1928, tepatnya di sebuah gedung bekas pabrik limun, di daerah Kramat Raya, sebelah bioskop Rivoli, jauh sebelum Indonesia merdeka. Kelompok sandiwara ini amat terkenal dengan kisah komedi-horornya, dan diakui oleh berbagai pihak teater sebagai pemberi pengaruh terbesar dalam teknik panggung dan nuansa kultur horor di Indonesia. Tjitjih sendiri merupakan nama sang primadona kelompok tersebut sekaligus istri dari sang pendiri sandiwara, yaitu Aboe Bakar Bafaqih. Ia diberi gelar primadona karena kepiawaian dan dedikasikasinya dalam membesarkan nama komunitas sandiwara.
Sayangnya, dedikasi Miss Tjitjih membuatnya kurang jeli menjaga kesehatan, sampai-sampai ia terserang penyakit TBC. Banyak orang berkata bahwa dalam kondisinya yang kurang baik tersebut, Miss Tjitjih tetap bersikukuh tampil, sambil sesekali dipapah oleh Bafaqih di atas panggung. Suatu ketika saat sedang mementaskan cerita “Gagak Solo”, Miss Tjitjih terjatuh di panggung, dan pementasan diberhentikan di tengah jalan. Miss Tjitjih kemudian dibawa pulang ke Sumedang, dan akhirnya meninggal muda pada usia 28 tahun.
Sepeninggal Miss Tjitjih, Bafaqih dan anggota sandiwara lainnya tetap melakukan pementasan, hingga akhirnya Bafaqih tutup usia, dan tanah gedung pementasan dijual oleh keturunan Bafaqih (anak-anak tiri Miss Tjitjih). Pada tahun 1971, salah satu keturunan Aboe Bakar Bafaqih yang bernama Harun Bafaqih akhirnya menawarkan anggota sandiwara untuk pindah ke daerah Muara Angke, tepatnya di dekat stasiun kereta Angke. Tawaran tersebut diterima oleh setengah anggota sandiwara, sedangkan setengah yang lainnya memilih untuk berhenti jadi bagian sandiwara.
Saat menetap di Angke, pementasan Miss Tjitjih selalu ramai penonton, sampai-sampai bioskop di dekatnya kalah bersaing dan gulung tikar. Sayangnya, perjuangan Sandiwara Sunda Miss Tjitjih tak hanya berhenti di situ. Pada tahun 80’an, kesuksesan Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih kembali harus terhenti karena relokasi stasiun kereta api Angke rute Jakarta-Tangerang. Pada tahun 1987, pemerintah akhirnya membuatkan gedung untuk Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih di daerah Cempaka Putih.
Pasca pindah gedung, kondisi komunitas sandiwara tak lantas kunjung membaik. Pementasan di gedung baru ini hanya ramai pada beberapa bulan pertama. Lokasi gedung yang tak strategis (sedikit masuk ke dalam gang kecil) dan minimnya domisili masyarakat Sunda di sekitar gedung menjadi faktor utama sepinya pementasan. Ditambah lagi, tahun 1997 Gedung Kesenian Miss Tjitjih terbakar habis akibat api yang merambat dari rumah warga sebelahnya, sehingga gedung harus dibangun ulang. Setelahnya, pementasan Miss Tjitjih tetap berjalan walau sepi penonton. Hampir tiap pementasan jumlah tiket yang terjual kurang dari 50, bahkan tak sampai 10 tiket. Harga satu tiket adalah Rp 10.000 dan kebanyakan penonton adalah anak-anak SD-SMP.
Seakan-akan nasibnya masih kurang sendu, pada awal tahun 2017, pemerintah secara tiba-tiba menghentikan bantuan dana untuk Miss Tjitjih tanpa memberi pemberitahuan maupun penjelasan. Akibatnya, anggota sandiwara kembali dirundung bingung karena tak dapat mengadakan pementasan.
Melihat segala upaya dan kegigihan Sandiwara Sunda Miss Tjitjih, pada tanggal 25-26 April 2017, Dewan Kesenian Jakarta kemudian memfasilitasi kelompok tersebut untuk merayarakan hari jadinya yang ke-89 di Graha Bhakti Budaya, dengan harapan banyak warga dapat makin mengenal Miss Tjitjih. Rangkaian acara bertajuk 89 Tahun Sandiwara Sunda Miss Tjitjih tersebut terdiri dari Pameran Arsip “Miss Tjitjih dan Modernitas”, Dialog Interaktif “Miss Tjitjih dan Budaya Sunda Masa Kini”, Pertunjukan Musik Celempungan, Dialog Interaktif “Miss Tjitjih dan Jakarta”, dan puncaknya terletak pada Pertunjukan Sandiwara “Napak Tilas Sri Panggung Miss Tjitjih”.
Pameran arsip yang disuguhkan pada acara ini cukup berbeda dari pameran arsip biasanya. Dengan pembawaan yang kontemporer dan desain yang minimalis, para periset muda membawa Miss Tjitjih semakin dekat ke masyarakat. Mulai dari arsip skenario pertunjukan, desain layar panggung, kostum hantu, hingga liputan koran Belanda yang meliput tentang Miss Tjitjih ditampilkan secara rapi. “Di pameran ini arsip ditempatkan bukan sebagai data yang pasti benar, melainkan sesuatu yang dapat dipertanyakan kembali kebenarannya,” tutur Akbar Yumni, salah satu periset.
Dalam dua dialog interaktif yang diadakan, Dewan Kesenian Jakarta beserta tokoh-tokoh masyarakat dan anggota Sandiwara Miss Tjitjih mendiskusikan mengenai sejarah perjalanan Miss Tjitjih beserta keresahan maupun harapan mereka tentang masa depan Miss Tjitjih. Dialog ini banyak dihadiri oleh para penggemar Miss Tjitjih yang masih jatuh hati dan tak ingin Miss Tjitjih berhenti hanya karena keterbatasan finansial.
Rangkaian perayaan HUT Miss Tjitjih kemudian ditutup dengan merdunya musik celempungan khas Sunda, serta pertunjukan sandiwara yang sudah ditunggu-tunggu oleh banyak orang. “Napak Tilas Sri Panggung Miss Tjitjih” sesungguhnya merupakan reka ulang jalan kehidupan Tjitjih, kontribusinya untuk kelompok sandiwara, hingga wafatnya di usia yang masih muda. Pada babak ketiga pertunjukan, terjadi semacam “sandiwara dalam sandiwara”, di mana mereka memerankan adegan pementasan Gagak Solo, dan pada akhir babak Miss Tjitjih wafat di atas panggung.
Dalam pertunjukan ini, ada beberapa teknik panggung yang digunakan, seperti perahu yang berjalan di atas panggung, panah yang dikendalikan dengan senar, dan penggunaan sling yang memungkinkan pemeran terbang melayang. Detail properti panggung pun digarap dengan sangat baik, contohnya pada bentuk gelas yang digunakan dalam kisah Gagak Solo. Sepanjang pertunjukan, Graha Bhakti Budaya dipenuhi dengan gelak tawa penonton, walau Bahasa pengantar yang digunakan adalah Bahasa Sunda. Sesekali terdengar suara penonton anak kecil di dekatku yang bertanya pada ayahnya, “Pa, itu artinya apa sih? Miss Tjitjihnya kenapa?” dengan nada antusias. Ternyata perbedaan bahasa dapat dieliminasi dari daftar faktor penghambat sukses, selama pertunjukan tersebut dirancang dan dibawakan dengan semaksimal mungkin.
Babak yang paling heboh dan paling banyak menggunakan teknik seru adalah babak terakhir, di mana para pemeran mementaskan sepenggal cerita andalan Miss Tjitjih, “Kuntilanak Waru Doyong”. Banyak figur hantu bermunculan, dan yang paling fenomenal adalah boneka kuntilanak yang terbang dari panggung menuju balkon, melintasi para penonton yang berteriak heboh. Adegan tersebut sekaligus menjadi penutup pertunjukan, dan menuai tepuk tangan meriah dari penonton.
Walau selama ini Miss Tjitjih dikenal sepi penonton, namun sesungguhnya masih banyak sekali pihak yang tertarik dan ingin tahu lebih banyak tentangnya. Baik tua, maupun muda, semuanya antusias ambil bagian dalam 89 Tahun Sandiwara Sunda Miss Tjitjih. Semoga api semangat yang baru saja terbakar dalam rangkaian acara tersebut dapat terus terjaga nyala, mampu menerangi kembali perjalanan Miss Tjitjih ke depannya, melalui berbagai rintangan yang ada.