
Pada tanggal 1 Oktober lalu di Suar Artspace diadakan sebuah acara berjudul “Tinggal Panggil Tukang” yaitu sebuah perayaan untuk kembali menghargai para tukang, sekaligus penutupan pameran tunggal sebelumnya yang bertajuk “Tukang Jangan Ditinggal” dari seorang desainer interior Luthfi Hasan (pendiri dan direktur firma Jakarta Vintage) di Suar Artspace. Acara ini membuka peluang bagi beragam tukang, mulai dari penawar jasa, makanan atau minuman, hingga pekerja kreatif untuk buka lapak sehari di Suar Artspace.
Dengan diadakannya Tinggal Panggil Tukang, Suar dan Jakarta Vintage ingin mengajak para pengunjung kembali memberi apresiasi semangat hasil kreatifitas dari setiap barang, makanan atau minuman sampai berupa jasa yang ditawarkan. Acara ini berlangsung dari pagi menjelang siang hingga tuntas setelah jam 8 malam. Berbagai macam lapak Suar Art Space diisi oleh para tukang seperti Pak Otoy sebagai tukang Sol, Pak Sholeh sebagai tukang vermak, Bu Yatmi sebagai penjual jamu, Pak Mianto sebagai penjual Bakso, Pak Yanto sebagai penjual Es Podeng. Dan untuk lapak kreatif diisi oleh Suwe ora Jamu, Mediocrux, Taneuh, dan Herbana. Tidak hanya sekedar buka lapak saja, acara ini dimeriahkan dengan berbagai macam segmen seperti kolaborasi workshop, talkshow, dan live painting.
Ahli profesi tukang sudah menjadi bagian hidup kita. Seperti perbincangan yang didapat sewaktu talkshow berlangsung antar pelaku dari Luthfi Hasan(Jakarta Vintage), Mahendra Nazar(SUMMON), Herbana, dan Tan-euh. Ilmu dari para tukang berasal hanya dari pengalaman yang dilakukan secara terus menerus dan diasah hingga menjadi sebuah keahlian yang tidak diragukan lagi. Sebuah profesi spesifik yang menjadi keahlian justru memiliki hal erat dalam kreatifitas dan bisa terkait dengan satu sama lain.
Semangat dan jiwa tersebut, ditemui di acara ini. Mereka menggunakan keahlian craftmanship dengan kerjasama atau bahkan berkarya layaknya profesi ahli tukang. Berbagai workshop pun diadakan seperti kerja sama antar Bu Yatmi tukang jamu dan Suwe Ora Jamu dengan para pengunjung. Dan di booth Mediocrux yang membuat berbagai macam merchandise dengan bahan kulit, berkerja sama dengan tukang kulit di Jogjakarta.Untuk kerja sama sama tukang kulit tersebut pun terealisasi setelah bertemu langsung dan langsung ke lokasinya di Jogjakarta. Dengan media tersebut, merchandise mereka diolah kembali menjadi pin hingga gelang kulit dengan cara menyolder.
Jiwa profesi tukang ditemui di salah satu booth dari ‘Tan-euh‘ yang berarti tanah. Bertemu dengan pendiri Tan-euh, Azriansyah Ithakari atau akrab dipanggil Azri, dirinya menjelaskan salah satu produknya yang garam, menggunakan tehnik jaman dulu dalam proses pengawetan. Salah satu contohnya yang diutarakan, “Mumi menggunakan garam sebagai pengawet alami. Begitu juga pickle.”. Kalau diingat petani dan tukang ikan menggunakan garam untuk mengawetkan makanan, seperti salah satu makanan kegemaran yang populer ‘ikan asin’ menggunakan cara yang sama. Tan-euh mendekati dari sisi lain yaitu menggunakan rempah-rempah dengan garam supaya awet. Hal ini dilakukan oleh Azri, untuk memberi kesadaran ke khalayak umum untuk mengurangi preservasi menggunakan bahan kimia yang sangat berbahaya.
Semoga dengan hal seperti ini kita bisa menghargai jiwa semangat dan jerih payah para tukang, tidak cuma sekedar memandang dari gambaran besar saja. Semua itu penting, bahkan sepenting celana jeans kamu yang divermak oleh tukang vermak keliling. Itu menunjukan bahwa jasa-jasa seperti ini masih dibutuhkan oleh kita.