
Pada tanggal 25-28 Agustus lalu, acara tahunan Bazaar Art Jakarta kembali diadakan di Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta Selatan. Dalam acara tersebut banyak seniman, galeri, dan pekerja kreatif lainnya yang berasal dari berbagai kota serta negara menggelar karyanya dalam booth masing-masing. Salah satu booth yang berhasil mengundang perhatian khalayak ramai pada saat itu adalah “Laboratorium Panjang Umur” atau Long Life Laboratory yang berisi performance art dari seorang pengajar desain grafis, sekaligus seniman paruh waktu: Fransisca Retno.
“Ini apa? Jamu ya? Ada jamu apa aja?”
“Kalau untuk obat jerawat, pakai resep jamu apa?”
Banyak pengunjung yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan serupa ketika berkunjung ke booth tersebut. Fransisca pun dengan sabar dan senang hati menjelaskan, “Ini performance art. Jadi, di sini mas atau mbak dapat membuat resep jamu panjang umur sesuai versi masing-masing, dan nanti saya yang buatkan jamunya.”
“Nanti kalau resepnya ngasal atau salah, bagimana?”
“Di sini tidak ada yang salah kok, namanya juga mencoba.”
Setelah itu, tiba-tiba lusinan resep jamu panjang umur buatan pengunjung pun menumpuk seiring dengan meningkatnya antusias mereka. Fransisca, atau nama panggilan akrabnya Ikoy, akhirnya dengan telaten membuat pesanan-pesanan jamu sambil bercengkrama dengan para pengunjung.
Konsep dari performance art milik Fransisca ini sebelumnya sudah pernah dicanangkan dalam program pameran Exi(s)t #4 : Food Files, yang dikelola oleh Dia.lo.gue. Pada program tersebut, Fransisca mengolah dan mengonsumsi berbagai macam obat-obatan secara non-stop dalam kurun waktu kira-kira dua jam. Semuanya dilakukan secara monolog, tanpa ada perbincangan antara audience dan sang seniman.
“Laboratorium Panjang Umur” sendiri adalah pengembangan ide dari pameran Exi(s)t #4, di mana Fransisca mengajak para pengunjung untuk ikut berpartisipasi dan bereksperimen secara bersama-sama.
Di sela-sela waktu istirahat Fransisca, saya pun sempat melakukan beberapa tanya jawab terkait dengan performance art miliknya.
Halo, Fransisca. Bagaimana pengalaman yang dirasakan selama beberapa hari ini di “Laboratorium Panjang Umur“?
Sampai sekarang, pengunjung yang datang kebanyakan adalah wanita. Di sini sebenarnya kita have fun saja sih. Kemarin bahkan ada yang bikin resep jamu pahit, lalu direkam dan dijadikan semacam ajang “Fear Factor” oleh teman-temannya. Ada juga yang sharing pengalamannya terkait bidang kesehatan, dan berbagi informasi mengenai penyalur obat serta rempah jamu yang bisa digunakan.
Kira-kira, apa yang mendasari Fransisca untuk membuat “Laboratorium Panjang Umur”?
Sebenarnya ide ini sudah terpikirkan sejak program Exi(s)t #4 lalu. Saat itu, saya mengambil tema kesehatan karena saya sendiri pernah mengalami masalah kesehatan yang membuat banyak orang jadi prihatin dan menyarankan banyak alternatif pengobatan kepada saya. Beberapa di antara mereka bahkan men-judge dan menyalahkan saya atas penyakit yang saya derita. Hal itulah yang menyadarkan saya kalau terkadang, orang yang sedang sakit malah menjadi komoditas untuk berbagai macam informasi kesehatan. Daripada dilanda bingung, akhirnya saya pun memilih untuk berkarya dengan dasar informasi-informasi yang saya dapatkan.
Apakah makna kesehatan bagi kamu secara pribadi?
Kesehatan terdiri dari dua aspek, yaitu fisik dan spiritual. Keduanya adalah satu kesatuan, dan melengkapi antar satu sama lain. Seseorang tidak bisa sehat secara utuh apabila tubuhnya sehat, namun hatinya masih menyimpang dendam. Pada dasarnya, manusia adalah mahluk sosial dan juga spiritual.
Apa saja isu kesehatan yang saat ini dialami oleh masyarakat urban?
Pada zaman sekarang, kita sebagai manusia mengalami arus globalisasi dan perkembangan informasi yang luar biasa. Di satu sisi, perkembangan teknologi serta informasi adalah hal yang baik karena kita jadi tahu banyak hal. Tetapi terkadang, pengetahuan tersebut malah menjadi overwhelmed, dan membingungkan. Hal itulah yang saat ini menjadi tantangan besar bagi masing-masing dari kita.
Selain itu, pada masa kini banyak masyarakat kota yang jadi kecanduan dan ketergantungan dengan bahan-bahan kimia. Mungkin hal itu menjadi alasan di balik mengapa banyak orang yang umurnya tidak mencapai ratusan tahun. Semakin banyak manusia dilahirkan, semakin banyak teknologi yang ditemukan, tetapi tingkat harapan hidup semakin rendah. Mungkin menurutku gejala-gejala tersebut adalah bagian dari hukum alam, yang berperan sebagai penyeimbang dunia.
Kira-kira, adakah upaya yang dilakukan oleh masyarakat urban dalam memerangi hal tersebut?
Saat ini ada banyak movement yang dilakukan manusia dalam menghentikan pengonsumsian bahan-bahan tertentu dalam hidupnya. Misalnya movement vegan, raw food, bahkan sampai menghentikan penggunaan shampoo / sabun saat mandi. Hal itu jadi mengingatkan saya kepada tradisi orang suci di India, yang hanya menggunakan bahan-bahan alami dalam kesehariannya. Movement yang mereka jalani tersebut adalah pilihan mereka sendiri, dan kita tidak bisa mengganggu gugatnya. Kalau saya sendiri sih, tidak sanggup jika harus menjalankannya (tertawa).
Kalau begitu, apa saja kiat-kiat kesehatan yang diusahakan oleh Fransisca sendiri?
Saya memilih untuk berhenti di tingkat semeleh (bahasa Jawa, artinya berserah-pen). Jadi, saya berusaha melakukan hal terbaik yang saya bisa, demi mencapai kebahagiaan dan kesehatan. Menurut saya, salah satu kunci utama untuk menjadi sehat adalah berbagi dengan sesama. Sebenarnya kesehatan sendiri adalah sebuah utopia, berusaha menjadi sehat barulah sesuatu yang realistis.
Selain itu, sudah hampir dua tahun saya tinggal di Desa Cilanguk, bilangan Bandung. Banyak seniman serta kurator yang juga tinggal di tempat itu, misalnya Ali Robin dan Mas Goro. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sebagai seseorang yang telah lama tinggal di daerah urban, saya tetap harus berpergian ke daerah perkotaan untuk kepentingan pekerjaan. Biasanya dalam satu minggu, empat hari saya habiskan di Cilanguk, dan tiga hari saya habiskan di Jakarta. Sebisa mungkin, saya menghabiskan waktu berakhir pekan di Cilanguk, sehingga bisa menenangkan pikiran.
Saat ini, saya bercita-cita untuk memiliki ekosistem sendiri di rumah Cilanguk. Misalnya empang, dan tanaman pangan sendiri, sehingga tidak perlu khawatir apabila terjadi kenaikan harga di pasar. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya masyarakat desa jauh lebih mandiri, ya dibandingkan dengan masyarakat kota.
Berbicara tentang jamu yang dibuat di “Laboratorium Panjang Umur“, apakah Fransisca rutin mengonsumsi jamu?
Dalam sebulan, saya pasti mengonsumsi jamu kunyit asem atau beras kencur minimal satu kali. Selain itu, tiap pagi ayah saya rutin membuatkan jamu campuran bawang putih, madu, dan jeruk nipis untuk proses detoksifikasi. Namun, karena bau dan rasa bawang putihnya yang terlalu tajam, saya minta agar dihilangkan saja bawangnya. Hehehe malah jadi nawar ya…
Mengingat adanya unsur performance art yang kamu terapkan dalam Bazaar Art tahun ini, bagaimanakah awal mula perkenalan seorang Fransisca dengan bidang performance art?
Semuanya bermula dari keperluan saya dalam menuntaskan studi S2 di Institut Teknologi Bandung. Awalnya, saya ingin menggali ilmu ilustrasi saya lebih dalam, sehingga berminat untuk mengambil bidang seni rupa.
Seiring waktu berjalan, ternyata konsep-konsep karya yang saya tawarkan kepada para pengajar saat itu mengalami penolakan. Hingga akhirnya, saya bertemu dengan Pak Tisna Sanjaya dan Beliau mengajarkan kepada saya bahwa untuk mengangkat isu pribadi seseorang ke dalam bentuk seni, performance art adalah jawabannya. Sebelum mengenal scene performance art pun, saya pernah mengikuti komunitas tari di Trisakti semasa kuliah S1. Oleh karena itu, berhadapan dengan penonton bukanlah hal yang benar-benar asing lagi bagi saya.
Pada masa awal perkenalan dengan performance art, penampilanku lebih banyak melibatkan gesture, dan menurutku masih tergolong gamang.
Apakah ada sosok seniman yang menginspirasi kamu dalam menggarap “Laboratorium Panjang Umur” ini?
Saya terinsipirasi oleh seorang seniman asal Thailand bernama Rirkrit Tiravanija. Dalam sebuah pameran seni, Beliau pernah menyajikan masakan kari Thailand kepada para tamu yang datang. Rikrit Tiravanija berpendapat bahwa seni adalah tempat di mana audience dan artist membentuk sebuah relasi.
Saya juga tertarik dengan campaign-campaign sosial yang bersifat interaktif, seperti yang dilakukan oleh Fajar Abadi dalam movement “Kue Senyum” miliknya. Dalam movement tersebut, Fajar menjual kue buatannya kepada khalayak ramai, dan para pembeli membayar kue tersebut dengan senyuman.
Ternyata seni dapat menginspirasi banyak orang ya! Kalau menurut Fransisca, apakah makna seni yang sesungguhnya?
Bagi saya, seni adalah sesuatu yang membuat kita berpikir ulang, dan menawarkan pengetahuan-pengetahuan baru yang dikembangkan dari hal-hal lama. Seni sendiri adalah hal yang sangat luas, dan memiliki banyak layer untuk dapat dipahami oleh para audience-nya. Seringkali seni mengandung banyak metafora, dan di titik tertentu, seni akan menjadi sesuatu yang mencerahkan serta auratik. Dalam seni, ada pengalaman yang ter-transfer dari sang seniman kepada audience.
Lain halnya dengan desain yang harus cepat dimengerti oleh audience. Seni dan desain konsepnya memang jauh berbeda, namun metodenya dapat digabungkan. Saya pun bercita-cita untuk dapat mengawinkan seni dan desain. Sebagai contoh, dalam kesibukan saya sebagai pengajar di bidang grafis, saya menggunakan seni sebagai mantel dan juga sumber inspirasi saya dalam membagikan ilmu.
Apakah harapan kamu setelah membuat dan merealisasikan “Laboratorium Panjang Umur“?
Saya berharap agar masyarakat menjadi lebih aware dengan informasi-informasi kesehatan yang diterima, dan tidak mudah terpengaruh dengan kalimat persuasif dunia advertising. Setiap manusia memiliki tubuh yang berbeda-beda, dan kita tidak bisa memaksakan diri kita untuk cocok dengan setiap metode kesehatan. Hendaknya, kita menjadi lebih kritis dalam menyaring informasi tersebut.
———————
Setelah itu, booth “Laboratorium Panjang Umur” pun semakin ramai dikunjungi oleh para tamu. Mulai dari yang tua hingga muda, laki-laki maupun perempuan, ikut mencoba resep jamu panjang umur masing-masing. Tidak lupa, saya pun ikut membuat resep jamu panjang umur yang berisikan jahe, beras, madu, secang, dan sereh. Rasanya tidak kalah sedap dibandingkan minuman-minuman kemasan lainnya yang biasa saya beli di supermarket.
Jadi, apakah benar bahwa kita sebagai masyarakat urban saat ini menjadi terlalu bergantung dengan bahan kimia yang ada?