Memori adalah salah satu bentuk yang tidak bisa dielakan, ilustrasi dalam hal apapun untuk kita melihat kebelakang untuk kedepan. Memori menjadi sebuah pemetaan, perayaan akan sesuatu hal atau bahkan landasan peringatan dari sebuah kejadian. Semua itu bisa dirasakan lewat memori, baik dalam bentuk nyata ataupun tidak. Karin Josephine menjadikan hal tersebut sebagai proyeksi dirinya untuk mengenang lewat jalur kolase, salah satu cara untuk berkarya dengan menggambungkan berbagai macam bahan (kerap bersifat dua dimensi) untuk menjadikan sesuatu hal yang baru.

Karin Josephine ialah pegiat kolase berasal dari Jakarta, Indonesia. Setelah menyelesaikan kuliah di bidang desain komunikasi visual, Karin Josephine sudah giat dan mulai berkarya kolase semenjak tahun 2008. Dan kini ia menjadi salah satu anggota dari Suar Artspace, pegiat kolase dan desainer paruh waktu. Setelah sekian pameran kolektif, akhirnya ia memutuskan “Terali Memori” sebagai pameran tunggal perdananya di Lir Space, Jogjakarta, Indonesia yang diadakan dari bulan April hingga Juni 2016. Dengan empat karya, Karin Josephine membagikan kenangan-kenangannya ke khalayak umum. Empat jenis karya tersebut yaitu kolase potret keluarga, kumpulan foto kota, zine, dan mix media diatas kanvas.

Dapat kesempatan berbicara dengan Karin Josephine saat berjumpa di Suar Art Space, ia menceritakan tentang kebiasaan kolase, perbedaan pameran tunggal dan kolektif, sampai beberapa karya di “Terali Memori”, hingga kesan pesan untuk para mebaca GOOGS. Yuk mari kita simak.

Apakah ini pameran pertama pertama Karin Josephine?

Iya.. Setelah biasanya mengikuti pameran kolektif, akhirnya mengejar peluang untuk pameran tunggal. Kesempatan ini muncul ketika Lir Space, sebuah ruang pameran di Baciro, Jogja, membuka open call. Saya mengirimkan proposal karya dan diterima. 

Apakah ada perbedaan pameran tunggal dengan kolektif?

Dengan pameran tunggal, saya memiliki kekuasaan penuh untuk konsep dan keseluruhan ruang pameran. Walaupun proses penggodokan ide dibantu oleh beberapa teman, saya tetap bisa mengendalikan siapa-siapa yang turut campur tangan dan juga melatih manajemen waktu diri sendiri. *tertawa

Untuk teman-teman kali ini yang membantu dalam pameran “Terali Memori” siapa saja yang ikut peran?

Untuk pemilihan kata-kata pengantar (kuratorial) dan katalog pameran ditulis oleh Nin Djani; publikasi dibantu oleh Mahendra dan Dhira dari Summon. Ketiganya membantu saya menyelaraskan ide dan apa-apa yang hendak disampaikan melalui kata-kata yang mudah dicerna dalam kuratorial.  

Untuk nama pameran solo Karin Josephine kenapa mengambil nama “Terali Memori”?

“Terali Memori” sebenarnya berasal dari cara saya (berusaha) mengumpulkan detil-detil yang menjadi bagian hidup saya, salah satunya dengan kebiasaan menempelkan berbagai macam stiker, label hingga beragam bungkusan dalam buku catatan. Dipikir-pikir, saya sempat banget ya jaman dulu; sampai label teh atau segala macam, saya tempelkan *tertawa.

Ternyata semua ini merupakan bagian dari usaha  saya mengingat sesuatu dan inilah ‘rentangan’ memori saya. Bahkan terkadang ‘rentangan’ memori saya bisa menjadi sebuah ramalan. Seperti suatu saat pada waktu itu, ada kejadian yang lumayan mirip sewaktu saya mengerjakan karya dan akhirnya bisa dihubungkan dari satu hal ke yang lain. Dan saya berpikir, “Oh ini toh yang dimaksud dengan melakukan kebiasaan menempel-nempel ke buku harian saya dari dulu”.

One things lead to another, ya memang terdengar seperti iklan  *tertawa. Ada saja hubungannya walau sebenarnya tidak bermaksud menghubungkan. Mungkin itu kali ya yang dimaksud personal dan pribadi banget dalam berkarya. Yang pasti utamanya pameran kali ini juga merupakan terapi buat saya sendiri dan supaya tidak lupa begitu aja dengan apa yang telah lewat. 

Untuk pameran solo “Terali memori” merupakan pameran dalam bentuk kolase. Apakah dari dulu sudah menggeluti kolase?

Setelah menekuni menggambar, dari masa sekolah dan kuliah saya juga belajar vektor, animasi sederhana, foto dan sebagainya. Barulah setelah tahun 2008 mulai sering melakukan kolase. Setelah itu saya mengenal Ika Vantiani, Resatio, dan teman-teman pegiat kolase lainnya. Akhirnya saya keterusan menekuni dan ternyata tidak ada habis-habisnya mendalami kolase. Peluang dalam eksplorasi kolase dapat menghasilkan karya yang sangat beragam dan itulah yang menarik bagi saya. 

Apakah semua karya Karin Josephine menyisipkan digital atau semua dibuat secara kolase manual?

Ada yang digital, tetapi lebih banyak manual karena yang saya cari adalah efek “mentah” yaitu robekan, atau kertas yang lecek atau sudah terpakai..dan sebagainya. 

Apakah ada karya-karya yang berkesan dalam pembuatan pameran “Terali Memori”?

Tadinya saya berencana untuk membuat karya “Lihat Besok” dilapisi dengan tulisan yang samar dan ternyata secara teknis cukup susah. Akhirnya saya memutuskan lapisan putih satu dengan yang lain. Dan “Lihat Besok” karya eksperimen sebenarnya dalam bentuk mix media.

Karya yang lain, berjudul “Serpihrasa” mengesankan karena zine yang tadinya saya maksudkan sebagai fokus utama, malah disarankan untuk tidak dipajang. Hal ini, menurut Mas Dito (pemilik galeri) memberikan kesan yang berbeda dibandingkan dengan kalau orang melihat langsung karya-karya yang ada di dalam buku-buku sketsa yang saya bawa. Karena itu jadinya yang dipampang adalah buku-buku sketsa berisi kolase asli (yang tadinya ‘hanya’ berperan sebagai dekor). 

Apakah ada pesan terkait yang ingin disampaikan Karin Josephine kepada khalayak umum dalam menikmati pameran “Terali Memori”?

Saya ingin menonjolkan tekstur yang jarang diperhatikan orang, seperti detil-detil jejak karat, robekan kertas, serat benang, cipratan cat, dan sebagainya. Banyak cerita yang bisa dibangun dari lapisan-lapisan kertas, gambar majalah dan foto lama. Segala karya yang ada di “Terali Memori” bisa menuturkan cerita yang berbeda tergantung bagaimana interpretasi masing-masing yang melihat. Saya justru ingin sekali ada yang berbagi cerita dan interpretasi setelah melihat kolase-kolase saya.

Kalau untuk perkembangan Kolase di Indonesia sebenarnya sudah umum kah dan banyak diminati?

Untuk peminat kolase sudah banyak dan ada komunitas-komunitasnya. Tetapi mereka yang memang konsisten dan beneran membawa ke permukaan layaknya dijadikan profesi, masih sedikit. Kolase itu bisa dilakukan oleh semua orang, tapi ternyata belum tentu semua bisa (terus) melakukannya. 

Apakah ada pembelajaran lainnya untuk pameran solo ini untuk Karin Josephine sendiri?

Pembelajarannya… jangan takabur, harus terus bersyukur dan ga boleh malas! *tertawa… yang pasti, saya belajar untuk nggak boleh gampang puas dan harus terus bereksplorasi. Masih banyak ide, teknik dan hal-hal yang bisa dicapai di luar sana.

Sumber foto :  Karin Josephine


MTRPHN

Tergerak dengan hal-hal baru ataupun lama sembari mencoba untuk cari tau dan menyimpan hal-hal yang bisa saja terlupakan adalah apa yang memotifasi dirinya untuk menerjang tembok keterbatasan.

Artikel-artikel terkait