
Berbeda dengan pendekatan dalam membuat karya, terkadang sesuatu yang hal yang mengganggu dan membuat resah justru menjadi sumbu dalam berkarya. Oscar Lolang menggunakan hal ini sebagai langkah berkarya hingga menghasilkan musik yang cukup unik dengan memberi perspektif yang sering luput oleh kita pada umumnya, yaitu tidak mengabaikan yang semestinya diperhatikan.
Oscar Lolang adalah penyanyi dan penulis lagu yang berasal dari Bandung, Jawa Barat, kelahiran Tangerang. Dalam jangka setahun, Ia sudah rilis dua single berjudul “Little Sunny Girl” dan ” Eastern Man”. Oscar Lolang pun aktif manggung dari Jakarta, Jatinangor hingga Bandung. Berbeda dari penyanyi pada umumnya, Oscar Lolang bercerita melalui lagu tentang isu sosial yang berasal dari keresahan berita yang termuat di publik namun terabaikan.
Perjumpaan kali ini, GOOGS dapat menyaksikan performa Oscar Lolang setelah Klav Band tampil pada acara FocalPoint ke-2 di Bumi Sangkuriang, Bandung. Disini ia hadir tidak sendiri tapi ditemani oleh Jon Kastella dan Andri Cahyaningtyas untuk menambah nuansa musik yang ia bawakan semakin berbeda, beragam dan sejuk terdengar dibawah terik matahari yang cukup menyengat.
Setelah usai panggung, GOOGS dapat kesempatan untuk lebih mengenal Oscar Lolang. Bagaimana ia memulai untuk bermusik hingga detail lebih lanjut tentang kreativitas dibalik kedua karyanya dan rencana kedepannya untuk terus bermusik.
Sewaktu menonton tadi, format kamu bertiga dari biasanya sendiri. Apakah format tersebut menjadi sesuatu yang beda untuk acara ini atau tergantung format panggungnya?
Tergantung Format Panggungnya. Apabila format panggungnya besar maka saya bertiga.
Bang Jon(Jon Kastella) saya kenal dari Batu Api dimana ia membantu juga beberapa band seperti ‘Nada Fiksi’ dan ‘Teman Sebangku’. Sedangkan Andri(Andri Cahyaningtyas) adalah salah satu vokalis Alvin & I , dan pemain synth Soft Blood. Kedua band yang Andri naungi kebetulan juga sebagai bagian rooster di Microgram.
Bagaimana asal muala kamu mulai bermusik sehingga kerja sama dengan Karma Records dan Microgram?
Berawal dari nongkrong juga sih sebenarnya dimana tempat saya sering nongkrong di Batu Api itu, sering mengadakan jamming bareng.
Dan awalnya sebenarnya saya tertarik di dunia seni yang lain, yaitu film. Akhirnya suatu ketika, ada kawanku membuka studio rekaman yang sedang merintis record label bernama ‘Karma Records’ dan menawarkan saya untuk rilis dibawah naungannya.
Setelah itu saya mencoba buat demo dua lagu, dimana satu lagu tersebut akan masuk ke mini album saya ‘Epilogue’ dan satu lagi “Eastern Man”. Dan Karma Records tertarik kemudian dirilis.
Saya sebenarnya kenal Dwi Lukita, salah satu dari Microgram, sudah cukup lama. Dan mulainya ketika membuat acara kecil-kecilan microgigs dengan melibatkan Microgram. Microgram pas perdana menonton saya manggung duet bareng sama Andri dan setelah itu tidak lama kemudian, saya masuk roosternya Microgram.
Sering mendengar Batu Api. Apakah Batu Api merupakan tempat biasa nongkrong?
Batu Api adalah Perpustakaan di Jatinangor. Saya juga ketemu Bang Jon disana dan begitu juga Andri. Saya aja kenal Dwi dari Microgram di Batu Api. Pertama konsepin dengan tata panggung beserta backing vocal pun berasal dari Batu Api.
Untuk musik kamu berani mengangkat isu sosial di kedua lagu bahkan ada yang berkesan mengkritik. Mengapa demikian? Apakah hal tersebut disengaja atau memang direncanakan?
Untuk musik yang saya bawakan kebetulan berminat ke-arah singer song writer. Intinya ya dari story stelling, apabila ntah itu jatuhnya ke hal lain seperti mengkritik, tergantung dari yang menerima dan mendengar.
Dalam proses membuat lagu itu sendiri ceritanya dimulai dari hal yang mengganggu dan membuat saya resah. Seperti kita banyak menilai akan sesuatu hal tetapi sebenarnya tidak semestinya melihat hanya dari satu sisi.
Seperti kita banyak nge-judge Papua padahal kita tidak tahu cerita sebenarnya, dimana kenyataannya kasian. Mungkin Papua mau merdeka tidak boleh, mau tinggal tetapi diberlakukan tidak semestinya.
Dari awal itu-lah saya mulai prihatin dan menuangkan itu semua menjadi cerita.
Kalau “Little Sunny Girl” lebih direncanakan, keresahan saya lebih ke kasus Yuyun, anak smp yang diperkosa 14 orang. Kalau tidak salah lokasi kejadiannya di Sumatera Selatan. Sebenarnya kasus Yuyun ini sering jadi obrolan sama saya dengan Bang Jon dan temanku lainnya. Akhirnya dibuat menjadi lagu dan ntah napa yang muncul di benak saya bukanya kasus Yuyun tetapi lebih general yaitu domestic violence.
Saya putuskan lagu ini menjadi dedikasi untuk perempuan yang disakiti.Dan apabila diperhatikan “Little Sunny Girl” itu semua kolaboratornya adalah perempuan. Dari yang menggarap visual cover album dan videoklip “Little Sunny Girl”.
Bagaimana konsep dan proses pembuatan artwork dan videoklip “Little Sunny Girl”?
Untuk bagian artwork cover lagu “Little Sunny Girl” dikerjakan oleh Vira Talisa seorang penyanyi dan penulis lagu, dimana musiknya sedikit ada campuran dengan pengaruh bossanova dan band-band pelopor Rock & Roll. Tidak disangka dalam menggambar dan melukis dasyat juga.
Mungkin untuk konsep videoklip yang bisa jelaskan yaitu sang sutradara, Dian Tamara, tapi intinya sih lebih ke domestic violence-nya itu sendiri. Dan untuk proses pembuatan videoklip bisa dibilang cepat banget, terhitung tiga minggu termasuk editing. Dari ide hingga shooting bisa dibilang hectic, dihitung-hitung dapat pengalaman karena sebelumnya saya belum pernah ikut pembuatan videoklip.
Berarti apakah lagu-lagu berikutnya akan sama yaitu menggunakan konsep story telling?
Ada juga yang berangkat dari puisi, doa, curhat dan obrolan.
Dengar-dengar ada kejutan dalam waktu dekat yaitu rilisan mini album ‘Epilogue’. Apa saja yang didapatkan dari album mini ‘Epilogue’?
Bakal ada merchandise baju, postcard, CD dan private showcase saya. Rencana akan rilis Maret.
Apakah ada rencana kedepannya setelah mini album ‘Epilogue’?
Kalau kedepannya masih di rahasiakan tetapi diusahakan rilis album dengan jumlah lagu sembilan atau sepuluh. Dan dibalikan lagi ke tema awal yakni, ‘Easter Man’. Instrumen selain gitar akan sedikit berperan dalam menemani gitar akustik. Tidak terlalu megah, tetap didalam garis akustik yang konvensional.