
Dari sebuah gagasan rekan, akhirnya menjadi suatu habit. Dari sebuah iklan plesetan toko online, akhirnya menjadi sebuah adiksi yang memakan waktu cukup lama dari awalnya rilis. Repetisi pun terjadi, saya mendengar dan setelah itu memberitahu kepada yang lain. “Venetian Blinds”, lagu manis yang dibalut dengan kontemporer disko dan synth yang membuat berdansa tanpa lelah seperti wabah. Saya harus salahkan kalian, Ping Pong Club, karena mengkaryakan “Venetian Blinds” ke publik dan menular!
Akhirnya untuk menemukan penawar sementara, saya mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan untuk dikirim via surel kepada mereka yang berasal dari Bandung ini. Dan, tak lama kemudian, terjawab oleh salah satu personil mereka bernama Rizky/Kidz yang memberi intro bahwa band ini merupakan hasil pergabungan dari projek yang diawali bukan kwartet melainkan berdua.
Bagaimana kalian akhirnya memutuskan membuat projek baru bernama ‘Ping Pong Club’?
Pada mulanya, Hariz mengajak saya (Rizky / Kidz) beberapa kali untuk menjadi additional di dua project bandnya Hariz (Trou dan Diocreatura). Kebetulan kita berdua sama-sama suka musik-musik UK dan terutama britpop, seperti Ride, The Verve, Travis, Adorable, Lush, Pulp, dan yang lebih tuanya lagi The Cure, The Smith, hingga New Order.
Soundcloud Ping Pong Club
Akhirnya kita merasa punya kesamaan dalam referensi musik. Puncaknya pas waktu itu kita sama-sama jadi opening Warpaint pas konser di Senayan, Hariz kayak ngajakin “‘Eh, bikin band bareng yuk, tapi yang chick-magnet gitu”. Awalnya pengen kayak The Postal Service, jadi emang konsepnya minimalis, vokal – gitar – synth – sequencer. Buat ngakalin juga, biar tur-nya gampang. Terus kita juga sama-sama punya banyak draft lagu nganggur yang akhirnya kita garap.
Dan singkat cerita, lahirlah Ping Pong Kleub!
Bagaimana akhirnya memutuskan dari duo menjadi kwartet dengan rekruit dua personil; Fasya Suryadini dan Satrio Adi Nugroho?
Kita pernah coba set minimalis berdua saya sama Hariz. Ternyata yang lack dari live band elektronik itu beat dan bass-nya yang cenderung computerized dan kurang dinamis. Oleh karena itu lah kita memutuskan untuk menarik beberapa personil untuk mengisi kekurangan itu. Pas awal diskusi sama Hariz, kita langsung kepikiran buat menarik drummer dan kebetulan pilihan itu jatuh ke Satrio Adi Nugroho (Komeng panggilannya, ngeband juga di The Schuberts dan National Perks).
Kalo Fasya dulu sempet projekan sama saya walaupun gagal, tapi dia keren! Cewe tapi nge-bandnya Post-Punk ala Ceremony atau Joy Division gitu, nama bandnya Curlysound. Sebetulnya ada satu personil lagi yang selama ini bantuin kita live, tapi dia suka pengen misterius gitu haha. Namanya Iqbal dan dia kebetulan vokalisnya Ikkubaru, dan main bass di Ping Pong Club. Dan uniknya, tahun 2016 saya pernah bikin acara judulnya ‘Jukebox’ di Bandung, dan kebetulan tiga-tiganya main bareng di acara yang sama walaupun waktu itu belum saling kenal.
Mengapa nama yang kalian pilih ‘Ping Pong Club’?
Awalnya kita namanya Retroactive terus dihilangkan konsonannya jadi RTRACTV. Tapi ternyata namanya kurang menjual dan yang tidak pake konsonan kayak nama channel yucub. Akhirnya kita memutuskan ganti nama, dan menemukan di Instagram ada turnamen Ping Pong. Terus kita kepikiran, “lucu juga yang kalo namanya Ping Pong Club”.
Kalau secara maknanya, Ping Pong itu sebetulnya verba di dunia audio, bisa bermakna layering instrument yang di-panning ping pong atau tic toc left right pas hasil mixing, atau bisa juga istilah dalam FX delay gitu namanya ping pong delay. Mungkin lebih kayak kita suka aja eksperimentasi sama panning dan delay,
Like literally kita semua begitu.. jadi cocok mungkin, kalau dikasih nama Ping Pong Club.
Membahas tentang lagu dari ‘Venetian Blinds’. Single perdana kalian begitu enak didengar karena menghadirkan kembali nuansa tidak jauh dari akhir 80an dan awal 90an seperti aliran Twee Pop pada saat itu. Apakah kalian memang mengarahkan musik Ping Pong Club seperti demikian? Mengapa?
Kalau dibilang nuansa Twee sendiri di lagu Venetian Blinds mungkin cenderung kental dan kita ingin mengarahkan ‘lagu’ tersebut untuk seperti itu. Tapi untuk materi keseluruhan Ping Pong Club sendiri, kita memasukkan banyak ornamen-ornamen dan rasa yang berbeda-beda, sehingga mungkin pas lagu-lagu lainnya keluar orang akan bilang ‘loh kok mereka jadi gini?’.
Seperti ada lagu yang bernuansa 80s city pop, ada yang nuansanya retrowave, ada yang mungkin lebih futuristik, yang Twee juga ada walaupun akan beda nuansa dengan “Venetian Blinds”. Kalau dibilang keluar jalur juga enggak, karena kita sepakat untuk men-generalisir musik kita menjadi Electronic / Indie Pop. Sehingga kita tidak kepatok sama influence kita, kita tidak kepatok untuk bikin lagu dengan tema apapun selama masih ada benang merah dengan generalisir Electronic / Indie Pop tadi. Kayak misalnya, kita sah aja nantinya untuk bikin lagu agak psychedelic, tapi ngambilnya Chemical Brothers, jadi si benang merah electronic-nya masih dapet. Dan sebagainya.
Berdasarkan press rilis yang didapat tempo lalu; Kalian menjelaskan pendekatan single “Venetian Blinds” mengambil sedikit unsur sophistipop, dan aesthetic pop. Apa itu Sophistipop dan aesthetic pop?
Sophistipop itu sebetulnya lebih merupakan genre atau arus musik di tahun 80an atau 90an saya lupa, yang sebenernya bermakna sophisticated pop. Ini kita angkat lebih kepada tema yang beberapa orang kasih ke kita sih. Ada yang bilang kita itu English Jangly Sophistipop, walaupun lagi-lagi saya ga tau apa maksudnya hahaha.
Ada yang review dari Emerging Indie Bands bilang kita itu Indie-gaze, walaupun saya juga merasa tidak ada nuansa shoegaze yang terkandung juga. Karena perspektif pendengar kita berbeda-beda itulah yang kemudian disebut sebagai pendekatan. Sehingga orang bisa melihat kita pakai pendekatan yang mana. Dan pada akhirnya, kita mungkin memilih untuk menciptakan pendekatan baru, yang dinamakan aesthetic pop. Mungkin lebih ke kritik kepada beberapa anak muda sekarang yang merasa dirinya eksklusif dan mereka lah yang paling aesthetic dan kadang artistic. Nah kita justru tidak ada yang artistic apalagi aesthetic anaknya. Makanya kita bikin aja istilah aesthetic pop biar derajat kita naik dikit-lah menuju ke-estetikan yang hakiki. Engga deng hahaha.
Mengapa mengambil judul lagu “Venetian Blinds”?Apakah ada hubunganya dengan Venice?
Tidak ada, sebenernya “Venetian Blinds” itu artinya tirai yang bisa dilipat, yang kadang kalo dinaikin suka nyangkut hahaha.
Jadi lagu ini sebenernya bercerita tentang seseorang yang sedang berfilsafat di kamarnya, sedikit terinspirasi oleh Galileo Galilei pas jadi tahanan rumah. Dengan dia jadi tahanan rumah itu justru membuat dia berkarya menghasilkan beberapa buku yang akhirnya dijadikan pedoman pikiran dia.
Nah kebayang Galileo Galilei pas jadi tahanan rumah karena dulu tidak ada gadget pasti dia berfilsafat bersama dirinya sendiri kan? Ketika berfilsafat di kamar, hal yang saya selalu lihat adalah jendela (karena banyak inspirasi mungkin), dan di jendela itu ada Venetian Blinds, tempat cahaya itu keluar masuk. Makanya ada frase di lagunya ‘So let the light shine on me’.
Mengapa ada sosok orang lain ‘you’ apabila lirik ini berupa monologue supaya tidak lupa menyayangi diri sendiri?
“Venetian Blinds” sendiri secara lirikan lebih merupakan buah pikiran orang yang berfilsafat dengan dirinya sendiri tadi. Ia memikirkan bahwa dunia ini telah ada dengan semestinya, ia bertanya apabila seseorang hidup diatas langit dia akan merasa kesepian, hingga dialog dengan dirinya sendiri. Kenapa saya bilang dialog dan bukan monolog, adalah bahwa sosok ‘you’ dalam lagu adalah dirinya sendiri yang merupakan dua persona yang berbeda namun adalah satu keberadaan. Ini sedikit terinspirasi dari sufisme, mungkin yang paling terkenal adalah mengenai Manunggaling Kawula Gusti, yaitu Aku di dalam diri Aku. Yang berbicara adalah Aku dan aku, dan ini merupakan pencapaian tingkatan tinggi dalam dunia sufisme.
Bukankah di kitab, Tuhan juga menggunakan Aku dan Kami?
Ada cerita dibalik audio official yang kalian rilis di Youtube? Siapakah Tasya Syafira dan bagaimana konsep yang kalian buat akhirnya menjadi tampak sekarang?
“Venetian Blinds” ini mungkin lagu paling pertama yang beres penggarapannya. Awalnya nuansa di draft-nya ga se-ajojing sekarang. Ada beberapa tahapan hingga akhirnya lagu tersebut terdengar seperti sekarang.
Paling terakhir bassline-nya Iqbal yang sedikit ngebawa suasana city popnya Ikkubaru agak kerasa di Ping Pong Club. Walaupun penggarapannya lama, proses rekaman hingga production-nya cukup cepat. Mungkin hanya memakan sekitar 2 minggu hingga menuju hasil akhir (mixing mastering). Kita juga mendapatkan banyak bantuan dari teman-teman.
Untuk mixing mastering sendiri kita dibantu oleh Alif, yang sekarang ngebantu kita jadi sound engineer, dia juga ngeband bareng Fasya di Curlysound. Iqbal yang awalnya pas dikasih demo Venetian Blinds cuma ‘he-eh he-eh’ sampe akhirnya dia kepikiran bassline sakti dan mau bantuin Ping Pong Club juga.
Tasya Syafira, sebenernya dia anak Seni Rupa Institut Teknologi yang kampusnya di Bandung. Baru semester 2. Tapi dia keren dan dia bisa mentranslasikan lagu ke dalam bentuk visual yang pop. Kotak dengan warna-warna yang berganti-ganti, melambangkan kondisi mencari dan tenggelam ke dalam diri.
Pas rilis Venetian Blinds ini kita dapet banyak respon positif di luar juga, ada beberapa blog luar termasuk 4 blog di Hypem yang ngereview tentang kita. Dan alhamdulillah, ada label asal California juga approach kita, namanya Leaky Sync / Dream Time Palace. Kita baru aja kontrak kerjasama sama mereka, makanya kalau ada yang bertanya kemaren sempet muncul di Spotify dll tapi kok sekarang udah gaada lagi ya. Nah, karena pas kemaren kita harus takedown yang nanti akan dirilis ulang lewat mereka.
Kira-kira setelah rilis ‘Venetian Blinds’ apa saja kejutan kedepan bagi penikmat Ping Pong Club?
Kita lagi garap video klip untuk Venetian Blinds recently. Kita mau bikin session juga yang aneh tapi masih digarap konsepnya (mungkin kalo ada yang bisa nawarin boleh hehe). Bikin screening dan mini tour pas video klip rampung nanti mungkin. Dan goalsnya semoga kekejar untuk full album di tahun ini. Amin.