Kuartet band yang berasal dari Jogjakarta ini baru saja rilis album berjudul “Magical Objects” sekitar pertengahan tahun 2017 lewat Kolibri Rekords. Baru berumur dua tahun dan sudah rilis EP sebelumnya, Seahoarse siap memanjakan kuping kalian dengan musik perpaduan seperti Tiger Trap, Apple Boutique, East Village,  Seapony, dan Tape Waves.

Seahoarse terdiri dari Gisela Swaragita (vokal/bass), Rudy Yulianto (gitar), Judha Herdanta (gitar), dan Aditya Adam (drum) semua berdomisili di Jogjakarta. Saat GOOGS menghubungi kontak whatsapp untuk wawancara Seahorse, langsung terhubung dengan sang vokalis yang merangkap sebagai song writer utama di band. Gisela Swaragita menjelaskan setiap pertanyaan tentang asal muala nama Seahoarse, kerja sama dengan Kolibri Rekords, beberapa insight tentang lagu didalam album ‘Magical Objects’ dan perihal lainnya.

Bagaimana ‘Seahoarse’ terbentuk?

Jadi pada bulan April tahun 2015 saya masih bermain sebagai pemain bass untuk Summer In Vienna, tapi waktu itu saya lagi suka sama shoegaze dan dreampop, jadi pengen main di band yang ngga Indie Pop kayak Summer In Vienna. Trus saya lagi nemu Melody’s Echo Chamber trus suka banget sampai saya ke salon untuk potong rambut biar kayak Melody Prochet.

A post shared by seahoarse (@seahoarse) on

Nah di salon itu saya papasan sama Ayu (Lefty Fish, Killed on Juarez), salah satu temen scene dari jaman jebot banget. setelah cipika cipiki dan tanya-tanya kabar, dia bilang ada temennya yang butuh seorang bassis untuk merombak bandnya. Temennya Ayu ini adalah Adit dan Rudi, yang dulu punya band namanya Fault Age, semacam Alternative-an gitu. Nah bassis sama gitarisnya Fault Age ini hengkang kalo ngga salah karena kerjaan dan harus pindah kota sementara Adit sama Rudi masih pengen bermusik. Terus Ayu kasih nomerku ke Adit dan akhirnya saya sama Adit kontakan deh.

Setelah itu aku sama Adit dan Rudi ketemuan deh. Terus mereka ngajakin latihan dengan saya yang memberi arahan referensi. Yaudah, saat nge-jam pertama itu kita membawakan lagu-lagu dari Seapony, Beach Fossils, Deerhunter, Melody’s Echo Chamber, sama Yuck. Setelah itu kita memutuskan untuk jalan terus dan jadi band beneran. Akhirnya pada prakteknya saya jadi vokalisnya dan bikin lagu juga.

Kan kalau ketemu sama Adit dan Rudi dari Ayu. Kalau Judha itu bagaimana bisa ikut di Seahoarse?

Tempe ya? Jadi saya sama Tempe sudah kenal dari lama. Terus suatu hari sekitar tahun lalu saya nonton Kekelawar Malam di sebuah gigs, terus papasan sama Tempe. Iseng aja saya tanya sama dia untuk main gitar di Seahoarse, dan ternyata  dia mau.

Saya pekewuh sendiri, soalnya saya sama Adit dan Rudi ngeliat Tempe itu udah “lord” banget secara dia salah satu dari duo Rabu, dan skill main gitarnya tidak usah diragukan lagi.

Waktu itu saya beri tau kalau ini band dreampop dan menanyakan lagi apakah beneran dia mau ikut. Dia jawab ” Mbak Gisa, kalau Apoy Wali tidak bisa manggung terus saya disuruh gantiin dia, saya juga berangkat kok.”

Berarti semua ini kebetulan ketemu di scene musik. Apakah semua sudah pada kerja?

Iya sudah pada ngantor semua. Adit kerja di Bank BRI, Judha jadi peneliti bantuin dosennya (dia alumni arsitektur Atma Jaya), Rudi desainer di sebuah rumah desain, dan saya ngajar Bahasa inggris di fakultas-fakultas non Bahasa Inggris di kampus almamater saya.

Kalau nama band kalian “Seahoarse”, asal-usul ceritanya bagaimana?

Waktu pertama kali bikin band ini kita duduk bareng di sebuah kedai kopi dan buka-buka kamus. Kita pengen sebuah nama yang kelaut-lautan karena kebanyakan band sukaan memiliki unsur laut dan pantai; semacam Beach Fossils, Beach House, Seapony, Tape Waves, dll.

Dalam satu kali nongkrong, kita rapat penamaan itu. Berangkat dari tema “laut” lalu akhirnya kita habisin bercangkir-cangkir kopi dan buka kamus sampai dapat kata “Seahoarse” itu.

Sebenarnya ada dua kandidatnya yaitu antara Sugarcave atau Seahoarse; sama-sama kelaut-lautan dan “pun” oriented. Akhirnya kita putuskan pakai Seahoarse aja, sedangkan Sugarcave dipakai jadi judul lagu.

Apakah ada filosofi dibalik kata “Seahoarse” itu sendiri?

Kesannya puitis aja gitu, “serak-nya laut” jadi pengennya sound kita seperti “laut yang serak.”…“The Sea Who Smokes Too Many Cigarettes”, cantik bukan? Misterius dan memabukkan seperti Uma Thurman dalam Pulp Fiction.

Setelah berjalan dua tahun. Bagaimana akhirnya memutuskan untuk membuat full album “Magical Objects”?

Memang dari awal kita bertekad untuk paling tidak bikin album dan tour, untuk menunaikan fitroh kita sebagai anak band sebelum akhirnya beneran tenggelam di dunia kerja orang dewasa. Karena kita tau diri lah, kita ini the definition of mediocre, tampang biasa aja, skill gitu gitu aja, dan kita semua masih ngejar karir untuk masa depan yang lebih baik. jadi setiap kita dapat uang dari manggung kita alokasikan untuk rekaman.

Kalau untuk nama albumnya mengapa memilih ‘Magical Objects’?

Judul albumnya Magical Objects, karena itu salah satu frasa yang ditekankan di lagu “Apprentice”. Entah kenapa saya suka sama konsep ngambil judul album dari lirik single, kayak Nirvana – Nevermind. FYI aja dulu pas di Summer in Vienna juga kasih nama E.P. Shallow Lagoon Holidays yang ada di lirik single “Marshmallow Cheeks”. Selain itu hmmm apa ya… kita merasa yang ada di dalam album ini ya emang magical objects yang kita kumpulkan selama 2 tahun berkarya.

Sedangkan untuk materi lagu dan album, bagaimana kamu sebagai sang penulis lirik dan judul di Seahoarse merangkai kata-kata tersebut? 

Saya suka membaca dan menulis, dan cita-cita saya waktu kecil ingin jadi novelis tapi kayaknya untuk jadi novelis harus gila dan tahan banting kerja keras. Jadi tulisan saya akhirnya pendek-pendek aja dan tidak jadi apa-apa. Menulis lagu itulah yang menuangkan rasa ingin menulisku itu.

Seahoarse – Some Time Alone, Alone (Melody’s Echo Chamber Cover) /// Hard Case Cafe. Video dari Watch Pinapple TV

Saya biasanya bikin sendiri dulu dirumah. Kadang dapat nada-nadanya pas lagi berkendara atau beraktifitas, terus saya bersenandung menggunakan gitar akustik dan direkam lewat handphone. Setelah itu dibawa ke studio untuk ngejam bareng.

Ada salah satu lagunya memiliki judul yang menarik yaitu “Emily Grierson” dan “Semicollon”. Apa cerita dibalik judul tersebut?

“Emily Grierson” adalah salah satu tokoh di cerpennya Faulkner, judulnya “A Rose for Emily”. Saya dedikasikan track itu untuk dirinya karena saya merasa dia disalahpahami oleh semua orang bahkan oleh kritikus dan sarjana sastra sendiri.

Dalam cerpen itu semua orang kaget ketika dia bunuh pacarnya dan tidur bertahun-tahun sama mayat pacarnya sampai Emily sendiri mati karena usia tua. Aku disodori cerpen ini di kelas Prose dulu, dengan label “Ini lho, contoh Necrophilia”.

Seahoarse – Across The Table Live at Before Sunset  /// Hard Case Cafe. Video dari Bioskop Semut Gajah

Dia dilihat sebagai tokoh yang patologis padahal tetangga-nya yang southern itu cerewet dan judgemental banget, dan sebenarnya tekanan sosial dari lingkungannya tersebut adalah sebab utama tekanan mental yang dialami Emily.

Jadi sebagai orang yang juga sering lelah dengan masyarakat,, saya bikin homage buat Emily Grierson.

“Semicollon” adalah tanda baca yang kita kenal di bahasa Indonesia sebagai titik koma (;). Tanda baca ini digunakan untuk melanjutkan sebuah kalimat yang sebenarnya bisa saja ditutup dengan titik. Belakangan tanda baca ini sering ditato di pergelangan tangan orang-orang yang peduli dengan isu kesehatan mental dan kecenderungan bunuh diri. Ada banyak orang yang bisa saja mengakhiri hidupnya, dengan “titik”, namun memutuskan untuk menggunakan “titik koma” dan terus melanjutkan hidup walaupun berat. Dengan lagu ini kami ingin menunjukkan kepedulian kami pada teman-teman yang suicidal namun terus bertahan hidup seperti itu.

Ada yang paling berkesan atau mungkin suka dukanya dalam pembuatan album “Magical Objects” ini?

Banyak suka dukanya. Salah satunya tempat kita menggarap materi dan rekamannya. Studionya adalah Satrio Piningit di daerah Kalasan. Engineernya bernama Sasi Kirono. Sasi ini dulu anak band juga, sempat gitarin MDAE.

Jadi studio ini letaknya di In The Middle Of Kalasan, yang kalau malem kampungnya sepi banget kayak zombie apocalypse. Letaknya jauh sekali dari rumah kita. Jadi untuk rekaman harus meluangkan satu hari libur untuk piknik kesana. Dan kalau bisa jangan sampai kemalaman. Biar tidak ketemu demit atau garong di jalan.

Dan sering kali kita sudah meluangkan satu hari untuk rekaman itu, tiba-tiba wilayah Kalasan mati lampu atau hujan badai sehingga kita tidak bisa rekaman.

Di album ini dengar-dengar ada rahasianya ya?

Ada satu hidden track di album ini, jadi kalau kalian mengira albumnya udah selesai, dengerin aja terus, karena nanti akan ada satu lagu yang beda banget sama yang lain

Kalau untuk Kolibri Rekords; Bagaimana kalian akhirnya bisa kerjasama dalam rilis album ini begitu juga penggarapan videoklip kalian?

Seahoarse berjumpa dengan Kolibri saat mereka tour keliling Jawa waktu itu. Dan mereka manggung di Jogjakarta dengan Seahoarse sebagai salah satu penampilnya, judul acaranya “Terror Weekend 1”. Sejak saat itu beredar desas desus kalau Kolibri mau menjadikan Seahoarse rooster mereka, tetapi tidak ada kejadian apa-apa sampai akhirnya beberapa bulan lalu sekitar akhir taun 2016, Daffa ke Jogjakarta dan mau membantui produksi album “Magical Objects”.

Untuk shooting videoclip ‘Apprentice’ itu prosesnya sehari doang, disebah studio namanya Garasi Budhe. Setelah itu dibawa ke Jakarta dan dikerjakan oleh Ratta.  Sedangkan ide videoclip juga berasal dari Ratta dan Daffa. Mereka tidak punya videoklip yang bandnya ngeband gitu. Terus sepertinya kami ini kartun sekali karakternya, sehingga pas untuk jadi konsep yang dilihat sekarang.

 


MTRPHN

Tergerak dengan hal-hal baru ataupun lama sembari mencoba untuk cari tau dan menyimpan hal-hal yang bisa saja terlupakan adalah apa yang memotifasi dirinya untuk menerjang tembok keterbatasan.

Artikel-artikel terkait