Berawal dari mencari jati diri, kini dirinya mengejar impian dengan sebagian besar mendokumentasikan human interest melalui fotografi. Baginya sebuah foto itu bisa dipilah melalui cerita dan pengalaman yang ditemui saat berkelana. Relasi antara dunia fotografi sama dirinya pun sudah seperti layaknya menjalin hubungan serius, layaknya cinta.

Setelah pameran ST/ART kolektif dua tahun silam, kini ia sudah mulai menanjak serius dan mengambil profesi fotografi ke level berikutnya sembari kuliah. Seperti dirinya ikut berpartisipasi  lewat pameran berjudul ‘Nalar Sensasi Seni’ tahun lalu di Galeri Nasional. Bahkan dirinya pernah dipilih kampus untuk mengajari workshop fotografi di daerah Sumatera barat. Kini Stephanie Jane Sukardi, yang akrab disapa SJS, mengikuti program dan pameran fotografi bertajuk ‘Arkamaya’, program workshop fotografi jurnalistik  dari Antara News, angkatan ke-21.

Dengan pembawaanya yang ceria , hangat dan semangat, ia menceritakan proses awal mencintai fotografi sampai bagaimana dirinya harus mempelajari tema paguyuban kuda lumping sebagai subjek human interest, mencangkup unsur kebudayaan jawa sampai pembahasan spiritual animisme. Yuk simak perbincangan yang sangat menarik ini saat GOOGS berjumpa dengannya di acara opening ‘Arkamaya’.

Kapan pertama kali kamu mengenal fotografi?

Saya pertama kali mengenal fotografi disaat mulai kuliah di UBM. Awalnya, saya bahkan tidak tahu apa itu pixel, lalu dosen saya memperkenalkan lebih dalam mengenai fotografi. Setelah belajar, saya pun jatuh cinta, dan mengejar mimpi saya di bidang ini hingga sekarang. Prosesnya kurang lebih kayak orang pacaran sih hahaha…

Apakah arti fotografi buat kamu pribadi?

Saya orang yang sangat menghargai pengalaman. Bisa dibilang sosok diri saya terbentuk karena adanya pengalaman hidup saya serta cerita pengalaman hidup orang-orang yang saya hargai. Saya menganggap fotografi dapat menjadi cara untuk membagikan pengalaman tersebut. Jadi, saya bisa mendapatkan berbagai cerita, dan juga membagikan cerita itu melalui foto dan tulisan.

Apa yang membuat anda menekuni fotografi hingga sejauh ini?

Saya stay di fotografi mungkin karena Tuhan memang menakdirkan saya di sini, dan kebetulan saya jatuh cinta pada fotografi. Saya sangat mencintai cinta, mengagung-agungkan cinta. Buat saya, jatuh cinta dengan bidang fotografi sama saja dengan jatuh cinta dengan seseorang.

Saya bisa saja mengganti passion saya dengan mudah. Sebelumnya saya pernah beberapa kali berganti mimpi, salah satunya ingin menjadi musisi. Dan pada akhirnya, saya sadar kalau jatuh cinta itu bukan hanya tentang gairah yang ada di awal saja. Mungkin awalnya hanya dimulai dari percikan cinta atau passion yang kecil, dan untuk meneruskan hubungan cinta tersebut, kita harus memiliki komitmen yang kuat dari dalam diri sendiri.

Sekarang saya ingin berkomitmen, dan ingin terus melanjutkan kisah cinta saya dengan dunia fotografi. Saya sudah menjalaninya sejauh ini, kenapa harus memulai lagi dari nol? Jadi ini bukan tentang, “Ih gue suka dia,” terus pacaran, putus, dan ganti pacar baru. Saya ingin hubungan cinta ini berlangsung selamanya, kayak pernikahan lah…

Apa yang membuat kamu memutuskan untuk ikut Workshop Fotografi Jurnalistik di ANTARA?

Setelah belajar fotografi, mencintai fotografi, hingga akhirnya menggelar pameran ST/ART, saat itu saya hanya merasa mampu untuk membuat foto yang cantik. Mungkin pada saat melihatnya, orang-orang akan langsung terkagum-kagum, namun jika mereka bertanya tentang kisah di baliknya, mungkin mereka malah akan merasa biasa saja karena kisahnya tidaklah cukup dalam.

Untuk membagikan pengalaman melalui foto, saya harus bisa menulis cerita yang maknanya cukup dalam, oleh sebab itu saya mengambil Kelas Jurnalistik ANTARA. Setelah ada di jenjang ini, saya sadar bahwa memotret adalah kegiatan yang cukup sulit. Untuk sampai di sini, dan sedekat ini dengan paguyuban kuda lumping yang saya foto, saya perlu menghabiskan waktu enam bulan bersama mereka.

Bagaimana kisahnya hingga kamu memilih tema paguyuban kuda lumping untuk diceritakan?

Awalnya saya malah berencana untuk mengangkat tema lain. Saat itu saya masih berpikir bahwa saya harus membuat sesuatu yang, “Gila! Gila! Gila!” lalu pembimbing saya pun mengajarkan bahwa kita tidak boleh melihat sesuatu dari hal yang besar saja, harus melihat hal yang kecil juga. Every big thing starts with a little thing.

Disaat saya menceritakan cerita-cerita gila yang ingin saya angkat, pembimbing saya pun menganjurkan saya untuk memilih topik mengenai kuda lumping, karena banyak hal yang orang-orang tidak ketahui mengenai bidang tersebut. Dengan masuk dan belajar mengenai bidang itu, saya mendapatkan hal-hal yang tidak pernah orang lain ketahui sebelumnya.

Apa yang akhirnya kamu dapatkan dari pengalaman tersebut?

Sebelumnya saya bahkan tidak menyukai kuda lumping. Menurut saya itu hal yang biasa saja, tidak ada hal menarik yang bisa diangkat dari hal tersebut. Awalnya, saya malah merasa takut disaat melihat adegan kesurupan pada tarian kuda lumping. Namun, saya bukan tipe pemberontak; pemberontak bukan berati jelek sih, pemberontak bisa juga bermakna positif. Saya adalah tipe orang yang sangat menghormati cinta. Jika takdir saya bisa membawa saya ke bidang ini, namun saya malah tidak menyukainya, maka ada sesuatu yang belum saya lihat dan pelajari lebih lanjut, sesuatu yang mestinya mampu membuat saya jatuh cinta dengan bidang ini.

Setelah mendekatkan diri dengan Paguyuban Kuda Lumping Wahyu Kencono yang berlokasi di Taman Kemayoran, Jakarta Pusat; saya pun mulai menyukai para anggota paguyuban tersebut. Namun hal itu belum cukup untuk menjadi landasan saya dalam bercerita.

Seiring berjalannya waktu, saya akhirnya mencintai, dan merasa bersatu dengan paguyuban serta kesenian kuda lumping tersebut. Bahkan saya menjadi marah ketika ada orang yang berkata bahwa adegan kesurupan pada kuda lumping hanyalah sekedar sandiwara, ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah hal yang musyrik. Saya pun melakukan riset lebih lanjut terhadap kuda lumping agar dapat membantah komentar-komentar negatif tersebut.

Setelah melakukan riset, saya mengetahui bahwa kuda lumping adalah salah satu budaya Jawa, dan merupakan bagian dari kejawen. Kejawen sendiri adalah sebuah filsafat kepercayaan animisme (suatu kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada dibumi baik itu hidup ataupun mati mempunyai roh -pen.) yang dianut oleh penduduk Pulau Jawa. Kepercayaan animisme mungkin sekarang telah tergeser oleh agama-agama lain. Namun, animisme masih merupakan budaya. Oleh sebab itu, mengapa harus menghilangkan elemen animisme; yaitu adegan kesurupan dalam kuda lumping? Tanpa adegan kesurupan tersebut, tarian kuda lumping memang tetap indah, hanya saja menjadi kehilangan ciri khasnya.

Apakah benar bisa kesurupan saat menonton tarian kuda lumping?

Jangan takut kesurupan karena menonton tarian kuda lumping. Itu hanyalah mitos belaka. Untuk dapat mengalami kesurupan, tidaklah mudah. Seseorang harus melalui proses yang panjang hingga mampu berada di tahap tersebut.

—————————–

Setelah perbincangan tersebut, SJS pun bergegas menjalankan tugasnya sebagai salah satu pembawa acara malam itu. Pada pameran ini, SJS juga mengemban tanggung jawab sebagai desainer buku katalog Arkamaya.

Event Pics Courtesy of A.Astari
Intro text MTRPHN
Photos courtesy of Stephanie Jane Sukardi


A.Astari

Seorang ilustrator yang mencoba untuk mengisi kekosongan di antara gagasan dan kata-kata dengan membuat ilustrasi, dimana ketiganya memiliki porsi yang sama-sama penting.

Artikel-artikel terkait