Sugar Bitter adalah sebuah band terbentuk sewaktu mereka menjalani kuliah sekitar tahun 2012, dengan menyukai band dan musik yang sama seperti AM, Strokes, Franz Ferdinand, Two Door Cinema Club, The Wombats dan The Coral. Setelah menjalani kurang lebih 3-4 tahun, Sugar Bitter rilis album EP perdana mereka  berjudul “Spark Plug” di bulan mei tahun ini dengan formasi solid; A. Luthfi Maajid (gitar), Lazuardi Rifki (vokal), Dimas(Bass) dan Ardian Daniswara (drum). Yuk simak perbincangan GOOGS dengan mereka dari pembicaraan tentang dibalik arti nama Sugar Bitter, proses rekaman album EP ‘Spark Plug’, dan perkembangan musik skena indie lokal di Semarang.

Apakah kalian semua pencinta kopi atau memang cukup merasakan manis dan paitnya hidup? Atau ada cerita dibalik nama “Sugar Bitter” itu sendiri?

Luthfi: Hahaha! Nggak juga sih sebenarnya. Kalau boleh jujur nama ‘Sugar Bitter’ tidak ada makna yang berkenan di kita. Awalnya saya minta usul dari teman kampus untuk nama band dan ‘Sugar Bitter’ kok kayaknya cocok dan ada paradoks gitu didalam kalimatnya, gula tapi pahit. Nah akhirnya kita sok-sokan bikin filosifinya aja, kalau kita, pokoknya bakal band terus walaupun gula jadi pahit.

Mengapa mengambil judul “Spark Plug” sebagai album EP perdana kalian? 

Jujuk: Jadi arti album EP kita “Spark Plug” itu sendiri kan busi, komponen penting di motor. Nah gunanya busi tersebut kan sebagai katalisator untuk pengapian dalam motor yang akhirnya bisa menyala. Kita ingin di EP kita yang perdana ini bisa menjadi katalis karir kita, yaitu untuk memberi dorongan dan start karir untuk Sugar Bitter supaya bisa lebih maju lagi.

Apakah lagu-lagu di album kalian ada berkesinambungan antar satu dengan lain?

Luthfi: Untuk di album ini lebih berkesinambungan di mood tiap lagu-lagu itu sendiri. Beberapa materi kita ada yang tidak kita masukan ke EP ini karena ada perbedaan mood. Nah di EP kita ini mood-nya dan tipenya udah seragam semua secara musikalitas. Rencananya sih ntar materi2 yang mood-nya beda bakal kami rilis di rilisan berikutnya..

Bagaimana proses rekamannya?

Denis: Proses rekamannya sih untungnya tidak ada halangan karena kita rekam sendiri atau home recording. Semuanya serba sendiri sih, jadi santai. Tapi justru kesulitannya buat komitmen sih, karena terlalu bebas, jadi suka agak tertunda rekamannya di salah satu take instrumennya.

Dari beberapa single kalian ada yang paling menonjol yaitu “Caffeinated Man”. Apakah itu terpengaruh karena formasi musik kalian dahulu beda dibandingkan sekarang atau pingin eksplorasi ke rana yang lain?

Luthfi: Karena “Caffeinated Man” memang bisa dibilang materi baru setelah kita eksplorasi musik baik individu maupun secara grup. Dari tadi kita cuma dengerinnya musik itu-itu saja sampai akhirnya mendengarkan berbagai macam musik, akhirnya jadi deh Caffeinated Man dan lagu-lagu lainnya di album EP ini.

Jika kalian punya kesempatan untuk bikin acara gigs besar-besaran; Kira-kira lineup band lokal apa aja nih yang akan ikut panggung bareng dengan kalian?

Jujuk: Polyester Embassy (bandung).

Luthfi: Cotswolds (Surabaya), karena saya lagi lumayan suka post-punk. Emm pengen juga share panggung sama Indische Party, The Changcuters, dan The Young Liars.

Jika Alex Turner ada disamping kalian dan begitu juga Julian Casablancas?Apa yang kalian lakukan?

Jujuk: Ngobrolin cewek kali ya haha..

Luthfi: Ke Alex, “lo kenapa pake berubah sih sekarang tengil amat Lex? Haha..”. Kalo ke Julian: “Eh gimana Album baru kapan keluar nih? EP kan udah keluar tuh..” Hahaha!

Bagaimana perkembangan musik di Semarang?

Dimas : Perkembangan musik di Semarang bisa dibilang sudah maju akhir-akhir ini. Sebulan kadang bisa 3-4 kali untuk acara musik indie-indie lokal. Bandnya pun udah lumayan banyak sekarang. Walaupun yang nonton dan datang kesannya masih sama-sama aja, tapi tidak masalah, tetap awal yang bagus.

Jujuk: Enam bulan belakangan sudah lumayan ramai dari mulai bermunculan band-band baru dan gigs kolektif. Tapi ya gitu,  kecenderungannya disini, kalo dia suka musik, ya dia maunya bikin band. Tidak ada yang berkorban buat jadi produser musik, buka record store, sound engineer, dll. Kalo semuanya jadi band, ya bakal stuck kaya begini terus, kualitasnya tidak terjamin, gigs ya gitu-gitu terus. Tidak  seperti kota besar lain, yang skena dan industrinya sudah terbentuk.

Luthfi: Mungkin dari pergerakannya yang masih kurang, yaa termasuk band kita juga sih, tapi kita pengen coba untuk gak gini terus. Jadi kalo saya ngeliatnya skena semarang masih jarang yang pengen ‘invasi’ ke kota lainnya, tidak  bisa dipungkirin ya memang faktor geografis sih, ibaratnya kalo sudah besar di Jakarta yaa di kota lainnya bakal dipandang OK juga. Jadi ya masih kurangnya kalo di Semarang mungkin kurang eksplor ke kota-kota lain kali ya, tapi tetep ada beberapa band yang juga udah mulai jalan ke kota lain dan itu keren.

Dennis: Mungkin di Semarang  masih kurang wadah untuk para penggiat musik ya. Acara-acara musik yang besar di Semarang masih sedikit untuk bisa benar-benar menghargai  band-band indie. Paling event musik besar di Semarang baru Semarang Ska Fest dan Loenpia Jazz sih. Jadi masih kurang wadah..

Rencana apa nih berikutnya? Apakah akan ada videoklip?

Jujuk: Yap, bakal ada videoklip. Kalo soal album, ntar dulu deh. Kita pengen menghidupi mini album kita dulu, biar albumnya juga bisa menghidupi kami haha.

Dimas: Pengen tour sih.. Tapi ini masih wacana, belom ada rencana detilnya. Tapi bisa dibilang pasti bakal tour sih kalo tidak ada hambatan yang besar.

Kontak
Telepon : +62 822 4214 7128 (Luthfi)
Email : sugarbitterband@gmail.com
BandCamp : sugarbitterband.bandcamp.com
Instagram : @sugarbitterband

MTRPHN

Tergerak dengan hal-hal baru ataupun lama sembari mencoba untuk cari tau dan menyimpan hal-hal yang bisa saja terlupakan adalah apa yang memotifasi dirinya untuk menerjang tembok keterbatasan.

Artikel-artikel terkait