Tito satya adalah ilustrator yang menetap di Bandung dan desainer lulusan Institut Teknologi Bandung. Dengan keuletannya dalam berkarya, ia menggambar dengan pensil sebagai landasannya untuk membuat karya potret yang detil dan menakjubkan. Konsep dalam karya pribadinya menggunakan tema-tema yang polar antar satu sama yang lain. Tidak jarang kita melihat karyanya menggunakan objek-objek seperti sosok wanita, tengkorak, hewan, dan exoskeleton. Melihat karya Tito Satya menempatkan kita berada di dunia khayalan  antara fantasi, macabre dan teknologi.

Tidak cuma menggambar menggunakan konsepnya, ia menempatkan diri sebagai ilustrator untuk menghiasi majalah, pameran, dan buku. Dengan keahlian yang ia belajar sendiri sedari kecil, Tito Satya mendapat kesempatan untuk menggambar untuk Elle Decoration Indonesia, Fawn & Luna, dan Alchemist Magazine. Dan pada tahun lalu, ia bersama seniman lainnya ikut turun serta untuk respon melalui karya menggunakan medium Libble Toys pada pameran Street Stage Bandung.

Yuk simak wawancara GOOGS bersama Tito Satya.

Mengapa kamu senang menggambar?

Karena dari kecil menggambar merupakan medium yang paling mudah untuk menyampaikan perasaan serta pesan yang ingin saya sampaikan.

Bagaimana tantangannya belajar sendiri hingga bisa berkarya seperti hasil kamu sekarang?

Saya banyak bermula belajar dari internet, buku-buku di perpustakaan, serta studi dari kehidupan nyata seperti menggambar orang lain atau diri sendiri menggunakan cermin. Tantangannya belajar sendiri menurut saya belajar tanpa pengawasan sehingga seringkali meraba-raba untuk mengenali kesalahan serta kurangnya kritik secara langsung.

“Renata” Oleh Tito Satya

Meski demikian, saya menyikapi hal tersebut dengan sering bertanya dan meminta masukan pada teman yang lebih mahir. Ada yang mengatakan apa yang kita pelajari dari orang lain sangat berharga, namun pelajaran yang kita peroleh dari belajar sendiri tak ternilai harganya.

Biasanya kamu menggambar suka menggunakan media apa saja?

Selama ini masih memperdalam pensil, guna belajar dasar dalam menggambar serta mengeksplorasi gaya visual. Tetapi, belakangan ini saya mulai mengangkat kuas menggunakan cat minyak.

Apabila kamu diberi pilihan untuk menggambar hanya menggunakan pensil (graphite) atau tinta; yang mana kamu pilih? Mengapa demikian?

Pensil. Alasannya sederhana, karena lebih fleksibel bagi saya. Saya mampu menggores pensil begitu saja, mengamplasnya menjadi bubuk yang membantu menghasilkan efek tertentu, mengatur tekanan serta sudut genggaman, dan menghapus bagian yang tidak diinginkan, yang justru menjadi aksen yang diinginkan.

Gambar kamu relatif menggambarkan dua hal yang cukup kontras yaitu hidup dan kematian. Mengapa demikian?

Kehidupan dan kematian di mata saya lebih sebagai hal abstrak yang akan senantiasa hadir dalam setiap era waktu. Banyak orang yang turut menggambarkan keduanya dari dulu hingga sekarang. Bagi saya keduanya tak selamanya diartikan dalam bentuk fisik ketika yang hidup bernafas dan sebaliknya.

Terkadang saya melihat suatu perasaan dapat pula ‘mati’ namun rasa itu tetap ‘hidup’ dan menghantui pikiran seseorang. Selebihnya seringkali saya tak berintensi menyelipkan kedua hal tersebut dan membiarkan kebebasan bagi yang menginterpretasi.

Inspirasi kamu datang darimana sehingga bisa menggambar menggunakan kedua hal tersebut dipadu dengan elemen fantasi dan teknologi?

Bagi saya fantasi dan teknologi tak luput dari satu elemen dasar yang sama, yaitu khayal. Meski fantasi lebih identik dengan dunia khayal yang mustahil, teknologi sebaliknya menjawab kemustahilan tersebut dengan penerapan sains serta pengetahuan.

Saya termasuk orang yang senang sekali berkhayal. Tak hanya dalam menggambar, tema teknologi juga tampaknya menjadi topik yang lebih sering hadir pada masa kini dan akan terus mengalir hingga masa mendatang.

Perpaduan fantasi dan teknologi dengan kehidupan dan kematian yang ada sepanjang masa menjadi suatu hal yang menarik di mata saya.

Tidak sedikit gambar kamu menggunakan objek seperti wanita, burung gagak dan tengkorak. Mengapa ketiga objek tersebut sering kamu gunakan dalam karya ilustrasi kamu?

Saya lebih tertarik pada garis melengkung serta lekukan pada rupa wanita dibandingkan dengan pria yang lebih tegas serta maskulin. Lekukan halus ini menciptakan kontras yang saya suka ketika diadu dengan garis yang cenderung bersudut bahkan tak beraturan seperti tengkorak dan visual pecah atau rusak. Untuk burung gagak sendiri saya tidak terikat pada keharusan burung tersebut untuk terus muncul dalam karya saya, lebih cenderung saya menyertakan berbagai hewan yang sewaktu-waktu meninggalkan impresi kuat dalam keseharian saya.

Tantangan apa saja yang kamu sering dapatkan dalam berkarya? Apa saja yang kamu lakukan supaya bisa melewati tantangan-tantangan tersebut sehingga bisa mendapat inspirasi untuk berkarya?

Ide dan kemampuan. Seringkali ide yang saya miliki belum mampu terealisasi oleh kemampuan saya selang suatu waktu. Keseimbangan adalah kunci terhadap hal ini. Upaya yang saya lakukan untuk mengatasi ini adalah eksplorasi pada sketsa dan terus mengasah kemampuan menggambar hingga akhirnya lebih matang untuk menyampaikan ide. Saya masih sering melalui tantangan ini dan yakin akan terus menemuinya hingga sisa masa menggambar saya.

Tahun lalu kamu ikut pameran Street Stage yang diadakan di Bandung dalam perihal membuat ilustrasi untuk Libble Toys. Boleh cerita pengalaman kamu?

Bersama sejumlah artist lainnya, kami diminta merespon tema ‘Make Art not War’ menggunakan media apapun pada mainan yang terinspirasi bentuk bom atom ‘Little Boy’. Respon karya saya yang berjudul ‘Silencing the Submerged” menggambarkan sosok wanita yang tenggelam dalam air bersama tengkorak dan mata pancing menggunakan cat akrilik.

Pengalaman pertama bagi saya melukis pada bidang yang tiga dimensi dan sangat bersyukur berkesempatan untuk turut berbagi lahan tembok dengan artist-artist yang saya kagumi. Selain belajar mengaplikasikan cat akrilik pada bidang yang tidak konvensional, saya juga belajar menantang diri untuk tetap membawa gaya sendiri pada bidang mainan yang telah memiliki bentuk dan gayanya tersendiri.

Ilustrasi kamu mendapat kesempatan untuk menghiasi majalah dan buku yaitu ELLE Decoration Indonesia Collections, Alchemist Magazine ‘Edge Edition’, dan Fawn & Luna Watercolor Sketchbook. Bagaimana bisa terwujud?

Awalnya waktu itu saya magang menjadi penulis di ELLE Decoration Indonesia. Momen ini membuka peluang ketika atasan saya, sang editor, mengetahui kemampuan saya dalam menggambar sehingga akhirnya ditawarkan untuk mengisi beberapa ilustrasi untuk beberapa edisi.

Ilustrasi untuk packaging Fawn & Luna Watercolor sketchbook sendiri ditawarkan langsung oleh mereka. Kalau Alchemist Magazine ‘Edge Edition’ merupakan hasil lolos dari Open Submission. Waktu itu teman saya menyuruh untuk mengirim hasil karya saya, dan ternyata dipublikasikan.

Bagaimana pengalamannya?

Ilustrasi untuk majalah merupakan pengalaman yang menyenangkan ketika melihat edisi majalah tersebut hadir di rak toko buku, juga ditambah saat membayangkan seseorang di luar sana mungkin sedang membolak-balik halaman majalah dan menemui ilustrasi karya sendiri. Untuk packaging sketchbook senang rasanya dapat menghiasi buku yang sering saya gunakan untuk sketsa dan menjadi bagian dari mereka yang bekerja menggunakan sketchbook yang sama.

Jika diberi kesempatan untuk menyebut tiga sampai lima artis; Siapa saja yang membuat kamu terinspirasi dalam berkarya ilustrasi? Dan mengapa demikian?

Basoeki Abdullah dengan keindahan wanita yang tampak dalam lukisan realisnya, Roby Dwi Antono yang membawa dunia pop-surealisme dalam karyanya, Garis Edelweis dengan kemahirannya menggores pensil menjadi burung dan tulang belulang berskala besar, Rachel Ajeng sebagai teman ilustrator yang tak hanya menginspirasi dalam ilustrasi namun juga berbagi kebaikan pada sesama, dan Chromeosome yang menghadirkan penggambaran pagan, mitologi, dan sosok wanita dalam balutan nuansa yang gelap.

Apa saja rencana kamu kedepannya dalam berkarya ilustrasi?

Saya ingin mengeksplor cat minyak dan terus menggali berbagai kemungkinan dalam menggarap tema seperti teknologi yang dipadu dengan fantasi atau bahkan fairy tale. Membayangkan ide seperti Red Riding Hood dalam bentuk cyborg saja sudah cukup membuat saya ingin segera bertemu pensil dan kertas untuk sketsa.

Terkait kamu mengambil kuliah desain untuk produk industri di ITB. Apakah kedepannya kamu akan menggunakan studi kamu dan digabungkan ke ilustrasi kamu? 

Untuk saat ini belum, saya ingin lebih fokus menggali teknik serta visual dalam gambar dan lukisan terlebih dahulu. Namun jika ada peluang produk lain yang membutuhkan ilustrasi atau malah ilustrasi saya yang lebih cocok dikemas dalam bentuk produk, kenapa tidak?

Apakah ada pesan dan kesan buat mereka yang berkarya baik ilustrasi ataupun perihal lainnya?

Ilustrasi ataupun menggambar secara umum menjadi proses yang menyenangkan sampai akhirrnya kita saling membandingkan diri satu sama lain, apalagi ditambah pesatnya arus dunia maya belakangan. Pasti ada orang yang lebih piawai dalam teknis penggunaan pensil atau cat daripada saya, namun hal ini bukan menjadi validasi bagi saya untuk berhenti menggambar dengan alasan ada yang lebih mahir di bidang yang sama.

Saya sering mengingatkan diri bahwa mereka yang telah mahir dalam bidangnya tentu melalui masa-masa pencarian dan terkadang masa itu yang sering terabaikan oleh mata. Setiap orang tumbuh dalam rentang waktu yang berbeda, hasil yang diperoleh pun tak sama. Ibarat buah, mereka tumbuh dan matang dengan jenis, tempat, waktu, dan rasa yang berbeda.  Terus saja berkarya dan senantiasa tuangkan segenap hati dalam pengerjaannya, tentu usaha yang kita lakukan akan berbuah pada waktunya.

Sumber foto : Behance Tsatya, @Tsatya, streetstagebdg.com


MTRPHN

Tergerak dengan hal-hal baru ataupun lama sembari mencoba untuk cari tau dan menyimpan hal-hal yang bisa saja terlupakan adalah apa yang memotifasi dirinya untuk menerjang tembok keterbatasan.

Artikel-artikel terkait